9 - Persiapan

30 2 0
                                    

"Aku bergabung ke English Club, Fajar."

Aku menghampiri Fajar sesaat setelah ia duduk di tempatnya. Fajar menatapku sambil tersenyum senang.

"Oke. Aktifitas klub setiap hari Rabu dan Jumat sepulang sekolah. Besok kamu bisa bareng aku ke ruangan klub. Nggak ada formulir yang perlu kamu isi. Pembinanya Mam Ai, aku ketuanya. Welcome to the club, Senja."

Aku balas tersenyum. Pronunciation Fajar terdengar bagus.

"By the way, kamu juga ikut lomba, Fajar?" tanyaku.

Fajar mengangguk.

"Aku juga ikut speech, Ja. Jadi kalau ada yang mau kamu tanyakan, tanya aja padaku."

Aku menatap Fajar kagum. Fajar tersenyum, sementara aku segera kembali ke tempat dudukku, bel masuk baru saja berbunyi.

Aku belum menyadari bahwa sejak awal, Fajar sudah terlihat 'berbeda' dari yang lain dimataku.

***

Aku bergumam panjang menatap kertas persyaratan lomba speech. Nayla yang sedang mengunyah bakso di depanku menatapku. Kali ini kami menghabiskan waktu istirahat kami di kantin. Nayla sudah berpesan padaku sebelumnya untuk tidak membawa bekal, dan mempersiapkan uang jajan. Sebenarnya aku bisa saja menikmati baksoku, namun perihal lomba speech membuat pikiranku hanya fokus padanya.

"Makan dulu kali, Ja."

Aku menurunkan kertasku, menatap Nayla dengan mata membesar.

"Aku bingung, Nay," keluhku. "Tema apa yang harus kupilih?"

Nayla mengambil kertas ditanganku dan ikut melihat bagian 'tema'.

"Wah, aku nggak ngerti, Ja." Nayla meletakkan kertas itu kembali di atas meja. Ia menyengir. "Kamu tanya aja sama Fajar. Tuh, panjang umur."

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Nayla. Fajar dan beberapa temannya sedang tertawa-tawa sambil menuju kantin. Aku segera berdiri dan memanggil, "Fajar!"

Fajar menoleh ke arahku—suara kerasku bisa mengalahkan kebisingan kantin. Fajar tersenyum ke arahku dan Nayla, kemudian berkata sesuatu kepada teman-temannya, dan ia pun segera menghampiri kami.

"Kenapa, Ja? Mau traktir aku?" canda Fajar. "Hai, Tante. Tumben makan di sini."

Aku tersenyum mendengarnya. Nayla menyeruput kuah baksonya.

"Sesekali makan di kantin. Senja kan belum pernah," jawab Nayla.

"Eh, kenapa tadi, Ja?" Fajar beralih kepadaku. Aku mengambil kertas persyaratan lomba speech dari atas meja.

"Ini, aku bingung mau ambil tema yang mana. Ada usul?" tanyaku.

"Oh, itu. Kira-kira di antara empat tema yang tersedia, mana yang paling kamu pahami? Yang bisa kamu kembangkan menjadi satu teks berisi opini dan argumenmu?

Aku bergumam panjang, memandang tulisan-tulisan dibagian 'tema'.

"Temamu apa, Jar?" tanya Nayla.

"Indonesian culture," jawab Fajar. "Kamu pernah baca tentang Masyarakat Ekonomi Asean, nggak?"

Aku mengingat-ingat. "Pernah, sih. Baru beberapa hari yang lalu."

"Nah, coba kamu ambil tema itu," usul Fajar. "Karena temanya nggak spesifik, kamu bisa berbicara apa saja tentang MEA. Kamu cari-cari informasinya dulu, lalu kamu tentukan ingin memersuasi dengan apa. Kamu tentukan inti pidatomu, misalnya apa yang harus dilakukan untuk menghadapi MEA, atau bagaimana cara agar kita tidak kalah bersaing dalam MEA."

Aku memahami penjelasan Fajar baik-baik. Nayla pun ikut menyimak.

"Kalau aku dan teman-teman lain, kami harus membuat versi bahasa indonesianya dulu sebelum diterjemahkan. Tapi kamu bisa membuat teks langsung dalam bahasa inggrisnya. Aku yakin kamu bisa, kok. Jangan pikirkan menang-kalah ya, itu urusan belakangan. Yang penting pengalamannya."

Aku menatap Fajar, mengangguk. Nayla langsung tersenyum jahil mendengarnya.

"Wow, bangga nian ambo punyo ponakan cak kau," ucap Nayla.

Aku melirik Nayla, dengan artian minta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Belakangan ini, jika aku mendengar Nayla berbicara menggunakan bahasa Bengkulu, aku memintanya untuk langsung menerjemahkan ke bahasa Indonesia agar aku juga mengerti. Atau jika aku mendengar teman-teman lain berbicara dengan bahasa Bengkulu, aku segera meminta Nayla untuk mengartikannya padaku. Saat ini, aku sudah tahu beberapa kata, seperti ambo yang berarti aku, atau nian yang berarti sangat. Terima kasih pada Nayla sehingga aku cepat mengerti.

Nayla tertawa kecil.

"Bangga nian ambo punyo ponakan cak kau. Bangga sekali aku punya keponakan seperti kamu," ujar Nayla pelan-pelan, agar aku dapat sekalian mengingat artian masing-masing kata.

Aku menganggut-anggut mendengarnya. Sesaat kemudian, alisku berkerut bingung.

"Keponakan?"

Fajar dan Nayla tertawa.

"Iya, Ja. Keponakan. Fajar ini keponakanku. Aku Tantenya. Jadi panggilan 'Tante' itu bukan main-main, tapi memang kenyataannya begitu."

Aku menganga tak percaya. Jari telunjukku bergantian menunjuk Nayla dan Fajar. Satu kata itu menjawab pertanyaanku selama ini.

***

Di rumah, tanpa membuang waktu, aku segera mencari bahan untuk teks speech-ku. Masyarakat Ekonomi Asean. Aku membaca banyak artikel, baik yang dalam bahasa inggris mau pun bahasa indonesia. Sesekali jika ada kata yang tak kumengerti, segera kuterjemahkan dengan google translate.

"Senja, makan dulu, sayang."

Terdengar panggilan Ibu dari luar ruang kerja Kakek. Aku sedang menggunakan komputer Kakek untuk browsing.

"Sebentar, Bu."

Aku keasyikan membaca banyak artikel. Perlahan aku mulai memahami apa itu Masyarakat Ekonomi Asean. Dan ide-ide pun bermunculan terkait teks speech-ku. Aku segera mengetikkan ide-ide tersebut ke dalam microsoft word, merangkainya langsung menjadi paragraf-paragraf berbahasa inggris.

"Senja, ayo makan dulu."

Ibu kembali memanggil. Aku pun memutuskan untuk istirahat sejenak. Teks-ku sudah satu halaman.

Seusai makan, aku kembali berkutat dengan layar komputer. Ternyata membuat teks speech bukan hal yang terlalu sulit. Aku sudah melihat berbagai macam referensi untuk teks speech, bagaimana membuat teks yang baik. Yang diperlukan hanyalah inti dari speech, kemudian dikembangkan menjadi paragraf-paragraf yang berisi opini dan argumen. Tak lupa pula kutambahkan data-data yang mendukung. Dari sanalah, aku bisa berimprovivasi, menambahkan apa saja yang bisa membuat orang setuju dengan speech-ku.

Menjelang pukul sebelas, teks speech-ku selesai. Aku memandang puas dua halaman berisi rangkaian kalimat dikomputer. Jantungku berdebar cepat, membayangkan besok akan mulai mengikuti English Club.

***

Sehari Di SanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang