Aku menarik koperku menyusul Ibu. Ia sudah berada di depan loket check-in. Aku berhenti tepat ketika Ibu menyerahkan dua lembar tiket pada petugas.
Sementara Ibu sibuk dengan urusan check-in, aku memandang sekitar. Bandara terlihat ramai. Orang-orang berlalu lalang, seakan dikejar waktu. Sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini, Negara ini—Amerika, menuju Negara lain yang akan menjadi tempat tinggal baruku. Negara dengan ribuan pulau, Indonesia.
Aku tak merasa sedih lagi. Acara tangis-tangisannya sudah berakhir kemarin. Hari ini, aku dengan lapang dada berusaha menerima kenyataan bahwa aku harus ikut Ibu kembali ke kampung halamannya. Ayahku telah meninggal dua bulan yang lalu karena sakit. Sakitnya sudah parah, tidak tertolong lagi. Kami pun sudah merelakan kepergiannya.
Setelah Ayah tiada, Ibu merasa sudah saatnya ia kembali ke Indonesia. Selama ini Ayahlah tulang punggung keluarga. Gajinya cukup untuk menghidupi kami bertiga di Negara ini, karena itu Ibu menjadi ibu rumah tangga. Setelah Ayah tiada, Ibu yang tidak memiliki pekerjaan memutuskan untuk pindah ke Indonesia, sebelum warisan dari Ayah habis. Ibu ingin menghabiskan masa tuanya di kampung halamannya, bersama keluarganya. Aku yang sudah berumur 16 tahun ini mau tak mau harus mengikuti Ibu karena kami tidak memiliki keluarga lain di Amerika. Kakek-nenekku—orang tua Ayah—sudah lama meninggal dan Ayah adalah anak tunggal.
Ada rasa enggan untuk pergi meninggalkan semuanya dan memulai kehidupan baru di tempat baru. Aku lahir dan besar di Amerika sehingga aku sama sekali tak punya bayangan bagaimana Indonesia itu. Apa yang harus kulakukan? Aku takut. Meskipun Ibu membiasakan untuk berkomunikasi denganku menggunakan bahasa Indonesia, tetap saja masih banyak kosakata yang belum kukuasai. Belum lagi ditambah bahasa informalnya. Bagaimana jika aku tak memiliki teman di sekolah baruku? Bagaimana jika aku terkucilkan karena aku murid baru yang berasal dari luar negeri?
Ibu selalu menenangkanku, bilang bahwa semua ini adalah takdir yang harus kujalani dengan ikhlas.
"Tak perlu khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Jalani saja dengan lapang dada."
Begitu kata Ibu ketika beliau menyadari kekhawatiran yang terlihat dari wajahku. Ibu tentu saja mengerti perasaan yang sedang merundung putrinya ini. Bagaimana pun juga, aku adalah anak Ibu. Ada ikatan batin di antara kami yang membuat Ibu hampir selalu tahu apa yang sedang kupikirkan, meski pun aku tak mengutarakannya.
Lagi pula, ini juga merupakan keinginan Ibu sejak lama, kembali ke Tanah Air bersama anak semata wayangnya. Aku juga ingin sekali berkunjung ke kampung halaman Ibu. Berkunjung, bukan pindah dan menetap di sana. Tapi semua sudah terjadi. Aku hanya bisa mengikuti skenario yang telah tertulis di Lauhul Mahfuz. Ini semua adalah takdir yang harus kujalani.
Satu jam kemudian, pesawat tiba. Aku segera menyandang tas ranselku dan berjalan cepat mengikuti Ibu. Jantungku berdebar cepat hingga aku duduk dikursi pesawat. Pandanganku tak lepas dari jendela. Sebentar lagi, pesawat ini akan mengudara, membawaku pergi jauh meninggalkan kampung halamanku. Mataku terus memandang keluar jendela, ke daratan Amerika hingga awan menutupi.
Selamat tinggal, Amerika. Aku akan menjalani kehidupan baru di Indonesia. Entah kapan aku bisa kembali ke sini.
***
Halo, Indonesia.
Kami tiba di Jakarta setelah sebelumnya transit di Taiwan. Perjalanan dari Amerika ke Taiwan memakan waktu sekitar 13 jam. Waktu layover kami sekitar 1 jam sehingga kami tak perlu menunggu lama di bandara Taiwan. Aku melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pesawat dari Taiwan yang kami tumpangi baru saja mendarat setelah kurang-lebih 5 jam berada di udara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Di Sana
Teen FictionSelalu ada perpisahan disetiap pertemuan. Kecuali maut memisahkan, tak ada yang tahu apakah masih akan ada pertemuan setelah perpisahan, ataukah itu menjadi pertemuan yang terakhir? Takdir selalu menjadi hal yang misterius dalam kehidupan. Meski pun...