Setelah lima belas menit perjalanan, kami tiba di pekarangan sebuah rumah. Tante membuka pagar hijau rumah tersebut, kemudian Om Win menjalankan mobil ke dalam garasinya. Aku dan Ibu turun sambil membawa tas masing-masing. Di depan pintu, sudah berdiri dua orang lansia yang menatap kami sambil tersenyum.
"Ibu, Ayah!" sapa Ibu. Ibu segera memeluk wanita tua yang tak lain adalah Nenekku. Kakek di sebelahnya juga disalami. Aku ikut menyalami Kakek dan Nenek sambil tersenyum.
"Ini Senja, ya? Duh, sudah besar kamu, hai Cucuku." Sapa Kakek.
"Kami sudah lama ingin bertemu denganmu, tapi selalu saja ada halangan." Nenek menimpali. "Eh, Riri mana?"
"Dia kan sekolah. Sudah kusuruh dia datang kemari pulang nanti." jawab Tante.
"Oh begitu."
Riri? Benakku bertanya-tanya. Kalau diingat-ingat, Om Win juga membandingkanku dengan 'Riri'. Apakah dia anak Om Win dan Tante? Kalau begitu, dia adalah sepupuku. Wah, aku sama sekali belum pernah berjumpa dengannya. Bagaimana ya, orangnya?
"Ayo, masuk dulu. Kasihan Senja, kelihatannya lelah sekali," ajak Kakek.
Aku mengikuti Ibu yang berjalan masuk setelah Kakek dan Nenek. Sementara Tante, sepertinya membantu Om Win menurunkan koper kami.
"Mau langsung ke kamar?" tawar Nenek.
"Iya, Bu. Kami lelah sekali habis berjam-jam di pesawat," jawab Ibu. Aku setuju. Rasanya badanku tak sabar ingin bertemu dengan empuknya kasur—kuharap kasurnya seempuk kasur lamaku.
"Nah, kamar kalian di kamar lamamu, Mai."
Di ujung ruang tamu, kami melewati tirai yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang selanjutnya, yaitu ruang tengah rumah. Tepat di sebelah kiri kami, ada dua buah pintu. Jika aku berdiri lurus berhadapan dengan salah satu pintu, pintu lainnya ada tepat di sebelah kiriku. Nenek segera membuka pintu pertama. Di sanalah tempat kami akan tidur, kamar lama Ibu.
Aku mengamati sekitar. Kamar itu cukup luas, dengan dinding dicat warna merah muda. Ada pintu berwarna senada diujung, yang kuyakin merupakan kamar mandi. Ada sebuah spring-bed di dekat jendela kamar. Beberapa meter di sebelahnya, ada sebuah lemari hitam tiga pintu.
"Nah, kamu mau ngapain sekarang, Ja? Makan? Tidur?" tanya Nenek padaku. Aku melirik Ibu.
"Sepertinya Senja mau langsung tidur, Nek." Ibu tertawa, mewakili menjawab.
"Ya sudah. Nenek keluar, ya."
Sesaat setelah Nenek keluar, giliran Tante yang masuk dengan menarik koperku.
"Hai, hai."
Tante segera keluar setelah menyandarkan koperku di dinding sebelah pintu. Beberapa saat kemudian, ia kembali masuk dengan menarik koper Ibu.
"Makasih ya, Kak."
Ibu memandang Tante penuh penghargaan.
"Iya. Kakak di luar, ya."
Tante mengangguk sambil tersenyum pada Ibu, lalu berjalan ke luar. Setelah pintu ditutup, aku segera melompat ke kasur. Badanku rindu sekali dengan rasa empuk kasur, meskipun baru 24 jam yang lalu aku meninggalkan kasurku. Untunglah kasur ini tak kalah empuk dengan kasur lamaku. Badanku langsung merasa nyaman tidur di atasnya.
"Kamu mau langsung tidur, Ja?" tanya Ibu. Aku bergumam tanda mengiyakan.
"Barangnya nanti aja disusunnya ya, Bu," pintaku.
"Iya. Ibu keluar, ya."
Terdengar suara pintu dibuka, lalu ditutup. Aku yang baru saja dari posisi telungkup segera berbalik hingga badanku menelentang di atas kasur. Aku menatap langit-langit kamar, termenung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Di Sana
Teen FictionSelalu ada perpisahan disetiap pertemuan. Kecuali maut memisahkan, tak ada yang tahu apakah masih akan ada pertemuan setelah perpisahan, ataukah itu menjadi pertemuan yang terakhir? Takdir selalu menjadi hal yang misterius dalam kehidupan. Meski pun...