Kalian tahu jet lag?
Itulah yang kualami sejak kedatanganku ke Bengkulu. Aku baru pertama kali menaiki pesawat sejauh ini. Belasan jam duduk di pesawat hingga bokongku terasa pegal. Aku bahkan tak tahu keadaan di luar sana—apakah pagi atau malam. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dipesawat dengan tidur sehingga ritme biologisku sedikit terganggu.
Aku membutuhkan waktu penyesuaian hingga seminggu kemudian. Tiap malam aku terbangun dan merasa tak mengantuk lagi, sementara siang harinya kantuk berat menyerang. Lima hari pertama lebih banyak kuhabiskan waktuku di kamar. Istirahat, penyesuaian diri. Jadwal tidurku sedang 'diatur ulang'.
Menjelang hari keenam, Tante yang sedang berkunjung ke rumah Nenek memanggilku yang kebetulan baru selesai mandi. Aku segera menghampiri Tante yang sedang duduk dimeja makan sambil mengupas apel.
"Ja, besok jalan-jalan, yuk?"
Tante selesai mengupas apel. Kini ia memotongnya di atas talenan.
"Ke mana, Tante?" tanyaku penasaran.
"Keliling-keliling Kota Bengkulu. Bareng Riri juga. Biar kamu tahu gimana kota tempat tinggalmu sekarang ini. Mau, nggak?" tawar Tante.
"Jam berapa, Tante?"
"Dari pagi. Besok Tante ke sini jam ... berapa, ya? Jam sepuluh, ya."
Aku berpikir sejenak.
"Boleh deh, Tante."
Aku tersenyum antusias. Tante balas tersenyum. Tangannya memindahkan potongan apel ke piring.
"Mau, nggak?" tawar Tante. Aku terkekeh sambil mengangguk. Tanganku mengambil sepotong apel.
***
Esok harinya, pukul sepuluh lewat.
Terdengar suara klakson mobil dari luar rumah. Aku yang sudah siap segera menyalami Ibu dan Nenek yang sedang mengobrol dimeja makan, kemudian kusalami Kakek yang sedang memotong semak-semak di dekat pagar rumah.
"Hati-hati, Fin!" seru Kakek pada Tante yang duduk dikursi supir. Tante mengangguk. Aku segera naik ke bagian tengah mobil.
"Hai, Senja!"
Kak Riri menyapa riang.
"Hai, Kak." Aku balas menyapa.
Tante sudah menjalankan mobil menjauh dari rumah Kakek.
"Om Win mana?" tanyaku.
"Kerja," jawab Tante singkat.
"Tante nggak kerja?"
"Tante kan, ibu rumah tangga."
Aku menganggut-anggut. Pantas saja Tante sering berkunjung ke rumah Kakek.
"Kak Riri nggak sekolah?" tanyaku lagi.
"Aku libur dihari Sabtu," jawab Kak Riri. Ia terlihat gembira. "Kamu nanti juga libur, kok."
"Kita ke mana dulu, nih?" tanya Tante—lebih kepada Kak Riri.
Kak Riri bergumam panjang.
"Kamu udah sarapan, Ja?" tanya Kak Riri, menoleh padaku.
"Udah."
"Ke pantai?" usul Tante.
"Jangan, Ma. Nanti sore aja, biar lebih enak," tolak Kak Riri.
"Jadi sekarang kita ke mana?"
"Lah, kan Mama yang ngajak. Masa malah bingung," ujar Kak Riri.
"Gimana kalau kita beli peralatan sekolah untuk Senja? Kamu belum beli buku dan alat tulis, kan?" tanya Tante. Matanya sekilas melirikku melalui kaca spion depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehari Di Sana
Teen FictionSelalu ada perpisahan disetiap pertemuan. Kecuali maut memisahkan, tak ada yang tahu apakah masih akan ada pertemuan setelah perpisahan, ataukah itu menjadi pertemuan yang terakhir? Takdir selalu menjadi hal yang misterius dalam kehidupan. Meski pun...