I. KABAR MENGEJUTKAN

395 12 5
                                    

Cuaca tidak terasa seburuk biasanya pagi ini. Hujan bahkan tidak berhasil menggangguku. Aku tiba-tiba senang menikmatinya—memandang keluar jendela untuk merasakan percikan air yang miring ke arahku. Bukannya aku ingin bersikap sok melodramatis atau apa, aku memang sedang dalam mood ingin menyendiri dan tidak ada yang lebih ingin kulakukan daripada hal-hal bodoh seperti ini.

Agak dingin memang disini, tapi aku berusaha untuk tidak mengacuhkannya dan tetap membiarkan jendela terbuka lebar. Bahkan ketika aku sadar kalau suara gemuruh hujan yang membesar mendatangkan hembusan angin dengan besar yang sama, membuat tubuhku semakin menggigil. Samar-samar aku bisa mencium baunya. Bau tanah yang basah, menusuk, tapi anehnya sama sekali tidak mengganggu dan malah membuatku merasakan sensasi kenyamanan yang aneh.

Siang ini kami bersama-sama akan meninggalkan Bandung; atau secara teknisnya begitu. Sebenarnya tidak semua dari kami akan pindah ke tempat yang sama, untuk sementara waktu. Hal ini tentu saja membuatku murung. Aku sudah terbiasa hidup seatap dengan ibu dan keempat saudariku, lalu kebiasaan itu akan hilang dalam sekelebat angin hanya karena keinginan bodohku untuk menyelesaikan masa SMA di Indonesia.

Tapi aku tahu keinginanku ini bukan tanpa alasan kuat—karena itulah Mama dan John menyetujuinya.

Well, walau dipisahkan jarak antara Indonesia dan Britania, setidaknya, aku dan keluargaku masih tinggal di satu planet yang sama, dan aku akan sesegera mungkin berkumpul lagi bersama mereka.

Nanti. Setelah aku lulus SMA. Pemikiran itu tetap membuatku sedikit lebih baik.

Karena aku bukan kurir profesional, aku agak lelah melakukan ini. Mengepak barang, maksudku. Mama benci pekerjaan berat (menurutnya ini berat) dan menyerahkan semuanya padaku setelah ia menuntaskan bagiannya. Dan bagiannya, tentu saja, paling cuma beberapa tumpuk pakaian.

Adik-adikku belum bangun tidur—atau mungkin sudah, tapi memutuskan bahwa diam di tempat tidur adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Tidak ada seorangpun yang bisa kumintai bantuan. Adikku yang paling kecil bahkan masih berusia tiga tahun—tidak akan ada yang bisa ia lakukan selain mengeluarkan kembali barang-barang yang sudah kumasukkan kedalam kardus.

"Bawa tirai yang itu, Sayang. Jangan lupa juga lapisi semua porselain dan vas dengan kertas koran!" teriak Mama dari ruangan kerjanya.

Aku mendengus dan meninggalkan delusi kenikmatan hujan-ku, memastikan bahwa aku sudah mengemasi tirai yang dipinta Mama, kesayangannya. Lalu aku mulai menyelesaikan bagian yang bahkan belum sempat kusentuh, furniture.

Mama akan menikah, kira-kira dua atau tiga minggu lagi. Calon suaminya adalah seseorang berkebangsaan Inggris yang bekerja di kedutaan, atau apalah. Seumur hidup aku tidak pernah terlalu suka ikut campur mengenai urusan-urusan pribadi ibuku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana mereka bertemu. Mungkin ada hubungannya dengan profesi lama ibuku sebagai penerjemah bahasa asing atau masa lalunya sebagai mantan mahasiswi di Bristol University.

Seingatku nama calon suami Mama adalah Mr. John Almeire bla-bla-bla, namanya terlalu panjang untuk bisa kuingat dengan mudah. Ia sedikit mirip ayahku, perawakannya tinggi besar dan tegap. Tapi tentu saja, Papa tidak berambut pirang sepertinya.

Aku sempat berpikir bahwa mempunyai ayah tiri berbeda ras seperti ini akan terasa sangat aneh nantinya. Maksudku, saat kita berjalan-jalan bersama, John akan terlihat sangat kontras dengan kami—dalam artian positif. Terkadang aku iri pada orang-orang dengan ras kaukasoid. Kurasa dilahirkan dimanapun mereka, siapapun orangtuanya, mereka selalu mempunyai rupa fisikal yang jauh lebih sempurna dari orang-orang timur pada umumnya. Tinggi, berat, keseimbangan bentuk dan lekuk tubuh.. orang-orang timur terlihat seperti telat bertumbuh dan lain sebagainya.

MASK(S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang