VII. KEJUTAN DAN INSIDEN

228 15 2
                                    

Sekitar satu jam kemudian kami keluar dari Restoran. Aku makan terlalu banyak walau tidak sedang nafsu makan; tapi saat perutmu kenyang, kau selalu merasa lebih baik. Udara panas tidak memperparah flu-ku. Dua butir pil yang kuminum, pemberian Stefhan, sepertinya mulai bereaksi. Aku mulai keringatan. Beruntung sekali tubuhku punya daya pemulihan yang lumayan hebat.

Aku melirik jam sambil menunggu Stefhan yang sedang membayar di kasir—pukul setengah sembilan. Selama masa remajaku, Mama tak pernah sekalipun menetapkan jam malam; semua orang percaya kalau aku adalah anak yang cukup tahu diri. Tapi berhubung disini aku tidak punya orangtua yang akan memarahiku, kurasa aku ingin mencoba menikmati sedikit kebebasan. Toh menghabiskan waktu bersama Stefhan adalah saat-saat berharga yang tak bisa dilewatkan.

"Jadi, bagaimana?" tanya Stefhan. Aku tak menyadari ia yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku, jadi aku terkejut. "Maaf," ia tertawa kecil.

"Tidak apa-apa," kuatur nafasku. "Apa maksudmu dengan 'bagaimana'?"

"Apa pukul segini sudah terlalu malam bagimu?"

"Belum," aku berbohong. "Kalaupun iya, tak ada seorangpun yang akan menungguku dirumah kecuali Chicky."

"Oh, benar."

"Jadi?" desakku penuh harap. Aku mendekap jaket Stefhan lagi, memeluk diriku sendiri seerat mungkin. Tapi ternyata udara tak lagi sedingin sebelumnya.

"Kau sedang sakit."

"Tidak, obatnya bereaksi dengan baik," aku memberitahunya. "Aku sangat teramat baik-baik saja. Percayalah."

"Hmm.." ia berpikir sebentar. Tangannya mengelus-elus lenganku, dengan sengaja memberinya aliran listrik. "Oke. Kau mau kuajak kemana?"

"Kemanapun." Aku langsung menjawab. Tak ingin ia tiba-tiba berubah pikiran kalau aku pilih-pilih tempat.

"Aku tidak terlalu yakin, aku sama sekali tak berpengalaman soal kemana harus mengajak seorang gadis kencan."

Wow. Kencan.

"Jangan pikir aku akan keberatan dengan pilihanmu. Kumohon."

"Kemanapun?"

"Ya." Asal bersama Stefhan, kemanapun boleh.

"Hmm.." ia berpikir lagi. Luar biasa menawan saat ia meletakkan sebelah tangan di rambut kecoklatannya—mengacak-acaknya. "Baiklah."

Aku mengangguk dan tersenyum antusias; seperti anak anjing. Stefhan terlihat geli dengan reaksiku, ia tak henti-hentinya menertawakanku sampai kudengar deru halus mesin mobilnya.

"Jadi, kita akan pergi kemana?"

"Aku lebih suka mempertahankan kejutan."

"Apa ini kejutan?"

"Kurasa." Ia tersenyum. "Boleh aku menambah kecepatannya? Aku masih ingin menjaga kesopanan dengan tidak membuatmu pulang terlalu malam."

"Oke." gumamku. "Tapi tolong jangan melampaui batas. Lagipula kau masih dibawah umur."

"Hei—aku sudah punya Kartu Tanda Penduduk disini." Ia nyengir.

Aku memutar bola mataku. Kalau umurmu tujuh belas tahun dan kau melanggar peraturan lalu-lintas, polisi manapun tetap akan menelepon orangtuamu.

"Seratus kilometer per jam? Jalanannya sepi begini, kok."

"Tidak!" tukasku. "Aku masih ingin kembali kerumah dalam keadaan selamat."

"Delapan puluh?" Ia meraih ke sabuk pengamanku, berusaha memasangkannya. Aku membiarkannya, mencoba menarik dan membuang nafas.

"Baiklah," aku menyerah. "Bisa ditolerir."

MASK(S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang