XI. RAHASIA

83 6 0
                                    

KAMI sudah berada di luar jalur bypass, bahkan rasanya jauh dari jalan raya dan keramaian. Stefhan berbelok ke sebuah gang kecil, jauh di pinggir jalan raya yang diimpit gedung-gedung pencakar langit, permuki- man kecil tanpa penduduk. Aku kenal jalan ini walau di tengah kegelapan. Kami pernah mengunjunginya sebelum ini. Aku mengenali lapangan luas berumput kering yang mempunyai lautan berlian lampu kota di bawahnya saat malam hari. Bangkai bus itu masih berada di sana—tempat ini pernah menjadi bioskop kecilku dengan Stefhan.

"Kumohon jangan mengingat kenangan buruknya," keluh Stefhan tiba-tiba.

"Aku bahkan baru ingat gara-gara kau mengingatkanku," protesku. "Otakku sangat mahir mengusir ingatan-ingatan buruk dan tidak penting."

"Jadi, bagian mana yang bagus dan penting menurutmu?"

"Saat-saat bersama kau di tempat ini—dan setelah kejadian itu." Seketika otakku memutar ulang. Warna wajahku belum juga kembali seperti semula.

Di luar dugaan, kami bukan mengunjungi tempat itu lagi. Stefhan terus menyetir melewati lapangan itu. BMW-nya yang kokoh hampir tidak terguncang karena kerikil, rasanya sama seperti berjalan di atas aspal yang hampir tak berlubang. Stefhan tersenyum begitu lama di sepanjang jalan itu, membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya, tapi aku terlalu takut suaraku akan bergetar karena gugup.

Mobil terus melaju tanpa aku mempunyai gambaran di mana kira-kira Stefhan akan berhenti. Mobilnya kini hendak keluar dari jalur jalan setapak seukuran dua pasang kaki manusia, melintasi rerumputan kering di sisi- sisinya. Samar-samar melewati kegelapan, aku melihat bangkai gerbong kereta usang di atas lintasan kereta api yang sudah berkarat tak jauh dari situ. Beberapa saat setelahnya, Stefhan berbelok ke kiri, memasuki semacam kompleks penyimpanan peti kemas yang sudah tidak dipakai.

Aku bertanya-tanya, mengapa tempat semacam itu bisa terletak di pinggir kota besar ini. Mobil Stefhan berbelok-belok, lalu keluar dari lintasan kompleks peti kemas itu. Menyusuri jalan beraspal yang cukup lebar dengan lampu-lampu neon setinggi tiga kaki yang menerangi sepanjang jalan, menuju sebuah pintu gerbang bercat hitam yang sangat tinggi dan megah—hampir sebesar pintu gerbang The Grand dan mirip seperti apa yang kau lihat sebagai rumah masa kecil James Bond dalam film Skyfall. Hal yang kulihat ini tak ayal membuatku luar biasa tercengang.

"Tempat apa ini?" tanyaku penasaran.

Stefhan tersenyum, melirik ke arahku. "Rumah."

"Rumahmu?"

"Rumah ayahku, secara teknis," ia mengoreksi.

"Bagaimana mungkin ada tempat seperti ini, di tempat seperti ini?"

Aku terheran-heran.

"Sengaja dibuat jauh dari keramaian," jawab Stefhan santai. "Kekurangannya hanyalah kami tak mempunyai satu pun tetangga."

Ketika sampai di depan gerbang, lagi-lagi aku menjumpai sistem sidik jari, kemudian pagar hitam raksasa itu berdecit dan terbuka dengan sendirinya. Suaranya membuatku ngeri. Dalam hati aku berpikir, kalau saja Stefhan adalah seorang mutan jahat atau vampir, hidupku pasti akan berakhir di rumah dramatis ini.

Kami melewati sisi kanan boulevard, sepanjang 30 meter dari gerbang, lalu Stefhan memarkirkan mobilnya di sisi paling kanan rumah. Rumah itu sangat besar, ukurannya hampir seperempat ukuran kastil. Aku tidak tahu persis gaya apa itu, tapi rumah seperti itu terlalu klasik dan tua untuk disebut modern atau kebarat-baratan. Bisa kulihat di hadapan mobil adalah jendela raksasa—dari ruang yang dipenuhi rak-rak buku pencakar langit—dengan tirai kuning pucat yang entah mengapa dibuka lebar-lebar meski hari sudah malam. Aku tertegun, terlalu kagum melihat tempat aneh yang tak pernah kujumpai secara langsung dengan kedua mataku.

MASK(S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang