VI. KENCAN

109 11 0
                                    

Baiklah, aku memang bodoh.

Dan itu bukan karena aku sama sekali tidak mempersiapkan pakaian untuk acara keluar—aku belum berani menyebutnya sebagai kencan—pertamaku dengan Stefhan.Atau karena aku membiarkannya menunggu lama di sofa ruang tamuku sementara aku mondar-mandir tak keruan di kamar, atau karena akhirnya aku keluar dari kamar dengan kikuk dan takut ia tidak menyukai penampilanku; tapi karena aku secara tiba-tiba tak bisa mengendalikan perasaanku saat melihatnya.

Aku tiba-tiba berdiri mematung—entah karena, percaya atau tidak, aku syok melihat betapa menawannya dia dengan jins dan kaus hitam yang menempel sedemikian rupa sehingga terlihat sangat pas di tubuhnya, menegaskan dadanya yang kokoh dan bahunya yang kekar, membuat siapapun merasa aman berada dalam rengkuhannya; atau karena aku memang tak bisa menahan debaran jantungku yang sangat, sangat tak terkendali.

Lalu? Aku pingsan, tentu saja.

Saat siuman, hal yang pertama kali kulihat adalah Gary, yang sepertinya sedang menungguku bangun dari tidurku yang tolol.Lalu Gaby yang sedang mengipas-ngipasiku—padahal pada sore hari dalam suhu kurang dari 17 derajat pun udara sudah cukup dingin—dengan wajah khawatir.

"Apa kau menelepon ibuku?" Reaksi Mama adalah hal pertama yang ingin kuketahui saat aku mengalami hal-hal seperti ini.

"Tidak tanpa persetujuanmu," jawab Gary, tersenyum mengejek. Ia segera mengeluarkan peralatan dokternya, seperti yang sudah kuduga, langsung memeriksa kondisiku. "Lagipula aku yakin kau tak ingin orangtuamu sesegera mungkin terbang ke Indonesia hanya karena mengkhawatirkanmu."

"Terimakasih." Aku lega mendengarnya. Senang rasanya tak perlu menjelaskan apapun pada ibuku yang kelewat perhatian.

Tapi kemudian aku langsung terpikir sesuatu yang sama pentingnya.

"Apa kau.. melihat temanku?" Aku ragu-ragu. "Apa dia pergi?"

Air muka Gary tiba-tiba berubah, ia terlihat sedikit kecewa. Atau ikut merasa kecewa.

Sekonyong-konyong aku mulai marah—malu dan marah pada diriku sendiri. Ingin rasanya aku memukul-mukul kepalaku dengan tongkat bisbol. Tapi aku tidak memperhatikan Gaby yang sedang cekikikan.

Lalu Gary pun ikut tertawa terkekeh-kekeh. Oh, sial.

"Aku hanya bercanda. Dia ada, kok." Ia menyuruhku membuka mulut lebar-lebar, lalu meyorotkan semacam senter kecil kedalamnya. "Ia keluar saat aku sedang datang kesini. Kalau saja kau melihat wajahnya, ia terlihat seperti baru saja mendengar kabar kematian. Sepertinya ia sangat mengkhawatirkanmu."

"Lalu kenapa ia keluar?"

"Mungkin ia ingin membelikanmu sesuatu," kata Gary, suaranya sangat tenang, itu membuatku yakin kalau aku memang baik-baik saja. "Sebentar lagi juga ia kembali."

"Ia meninggalkan jaketnya." tambah Gaby. Aku melirik kearah jaket tebal berwarna keabuan yang sepertinya hangat itu. Melihatnya saja sudah membuatku rindu padanya. Tolol.

Tapi diam-diam aku sangat bersyukur sampai hampir bersorak-sorai. Maksudku, dengan kejadian memalukan tadi, kupikir nantinya Stefhan tidak akan mau lagi bertemu denganku karena menurutnya aku aneh, atau gila. Aku sendiri saja tak tahu mengapa aku bisa pingsan.

"Kau hanya sedikit syok," ujar Gary, seolah menjawab pertanyaan yang belum sempat kuucapkan. "Kurasa terlalu banyak hal yang kau pikirkan dalam satu waktu dan kau sempat mengalami stress mendadak. Sialnya, stress ini datang di saat yang tidak tepat, saat tubuhmu sedang dalam kondisi kurang prima. Jadi, kau langsung pingsan begitu saja."

MASK(S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang