Aku belum sepenuhnya terbangun dari tidur. Terlalu mengantuk, sepertinya aku hanya tidur kurang dari empat jam semalam. Tapi Gesty dan Zenith juga belum datang ke kamarku, jadi mungkin ini belum terlalu siang. Saat aku mendudukkan tubuhku di tempat tidur, aku merasakan kepalaku berdenyut-denyut. Aku baru saja akan memanggil Gabriella—mungkin dia sudah datang sejak pagi-pagi sekali—saat aku melihat sebuah nampan stanless steel besar berisi dua potong sandwich dan segelas susu. Tenyata Gabriella sudah menyiapkannya untukku.
Pemandangan Bristol di pagi hari jauh lebih indah. Aku turun dari tempat tidur dan menghampiri balkon, seperti yang selalu ingin kulakukan sejak aku sampai disini. Aku belum menyentuh sarapan, belum terlalu lapar. Mungkin aku akan menghabiskannya nanti, setelah aku puas menghirup udara segar, siapa tahu itu dapat sedikit menghilangkan rasa pening di kepalaku.
Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, menghirup udara segar di pagi hari terasa sangat menyenangkan. Hembusan angin yang menerpa lembut wajahku seolah dapat membakar habis seluruh perasaan tak enak yang kurasakan, lalu menggantinya dengan rasa nyaman. Dari sini aku bisa melihat Harbourside, Mama bilang hari ini akan ada semacam boat festival di perairannya, The Harbour. Dan benar saja, pagi-pagi begini The Harbour sudah ramai oleh banyak sekali orang dan perahu-perahu dengan tiang-tiang menjulang tinggi diatasnya. Kelihatannya seperti pasar ikan, namun bedanya apa yang mereka gunakan adalah kapal perahu modern, bukan rakitan.
Dalam berbagai hal, entah mengapa suasana seperti ini—bunyi terompet dimana-mana dan orang-orang datang berbondong-bondong dan hilir-mudik, ricuh sekali—justru membuatku merasa sangat lega. Maksudku, aku jadi merasa bahwa aku tidak sendirian, dan tidak dianggap seperti orang asing. Padahal aku hanya memandang mereka dari kejauhan dan tidak bercampur-baur dalam kesibukan mereka.Aku masih disini, berdiri di balkon dan hanya mengenakan piyama. Ini bukan negaraku—yah, mungkin akan segera menjadi negaraku, tapi setidaknya bukan negara tempatku berasal—tapi aku bisa merasakan sensasi tradisional yang persis seperti yang biasanya kurasakan saat aku Papa mengajakku untuk menonton wayang, atau saat Papa mengajakku ke pasar kaget, atau..
Papa.
Bayangan wajahnya di mimpi yang masih melekat di pikiran membuatku sangat merindukannya. Aku sangat ingin bertemu dengannya, memeluknya, berbicara dengannya.. tapi aku tidak tahu dimana ia berada, atau bahkan berapa nomor teleponnya. Kemana ia pergi? Mengapa ia harus meninggalkan kami tanpa kabar? Atau, mengapa ia sama sekali tidak berusaha untuk setidaknya menemui kami, putri-putrinya, sekali saja—jika ia memang benar-benar tidak bisa menemui Mama?
Aku menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan semua pikiran tentangnya. Memikirkan Papa sebenarnya masih membuat hatiku sakit, walau aku tak pernah menganggap kalau Papa sengaja melakukan semua ini. Papa bukan orang yang tidak bertanggung jawab, bukan orang jahat. Mungkin Papa punya alasan kuat, mungkin Papa memang benar-benar harus pergi dan mungkin suatu saat nanti ia akan kembali untuk menemui kami. Mungkin itu juga yang pernah diyakini Mama, makanya ia tidak pernah menangisi kepergian Papa.
Aku berusaha menghabisi sarapanku, pening di kepalaku sudah lumayan hilang. Gabriella menghampiriku, ia membungkuk hormat kearahku, aku melambaikan tangan mengisyaratkan bahwa ia tidak perlu melakukan hal seperti itu.
"Apa kau membutuhkan sesuatu lagi, Miss?"
"Tidak, aku sudah kenyang, terimakasih." Aku tersenyum padanya. "Kau sendiri sudah sarapan?"
Ia tersenyum malu. "Saya tidak pernah sarapan, sudah biasa menunggu jam makan siang."
"Panggil aku Shenia, atau Shenny, atau apapun. Asal jangan Miss," pintaku. "Kau mau mencoba? Ini agak terlalu banyak untukku."
KAMU SEDANG MEMBACA
MASK(S)
Science FictionBagaimana kalau pacarmu ... punya kekuatan super? Shenia, seorang gadis biasa yang terpaksa harus keluar dari zona nyamannya secara tiba-tiba ketika ibunya memutuskan untuk menikah. Ia tak pernah mengira bahwa kepindahannya adalah awal dari segala y...