IV. MENARIK

149 7 1
                                    

Hujan mengguyur Jakarta hampir setiap hari sepanjang sisa minggu itu. Ini membuat udara terlalu lembab untuk berada diluar, aku benci lembab. Hal bagus yang terjadi adalah aku berhasil mempererat hubungan dengan teman-teman baruku, namun cukup cerdik pula untuk mencoba mengenal beberapa anak pintar di sekolah, jadi aku tak perlu selalu terjebak dalam agenda "belajar bersama" di tempat Mia. Aku bisa meminta beberapa orang untuk mengajari apa yang tak kumengerti di kelas-kelas tertentu. Jadi hari sabtu dan minggu bisa kugunakan untuk pergi ke toko-toko buku terdekat.

Awal senin pagi di sekolah, Kiki lagi-lagi menjadi orang pertama yang menyapaku. Ia mengeluh tentang betapa kemarin ia terpaksa pulang larut malam dan dimarahi, tiba-tiba orangtuanya menelepon dan sudah berada dirumah entah sejak kapan saat ia sedang berada ditempat Mia. Ia tidak bisa cepat-cepat pulang kerumah karena selain Mia memang memaksanya untuk tinggal lebih lama, ia juga terjebak kemacetan yang parah. Aku memberitahunya soal jalan-jalan pintas yang sering diambil Pak Taufik untuk menghindari kemacetan setiap harinya, ia sangat antusias mendengar saranku.

Hari ini kelas pertama adalah Bahasa Inggris, aku tidak terlalu tegang karena cukup yakin bahwa aku tidak lupa membawa PR-ku.Kelas berikutnya adalah Trigono. Ini adalah minggu keduaku di The Grand dan aku masih harus menambah banyak teman yang bisa kuandalkan di kelas-kelas sains. Aku jadi merasa sangat beruntung berada di kelas yang sama dengan Stefhan Hudgeson di hampir semua mata pelajaran. Hanya dia yang kupunya di kelas ini, selain cowok lainnya yang kurus dan berkawat gigi yang kelihatan selalu kebingungan. Bisa jadi selain Kiki, Mia dan Anna, hanya dia yang akan kukenal di kelas ini dan beberapa kelas lainnya sampai hari kelulusan. Selain aku memang sudah terlahir sebagai orang yang tahan gunjingan—pagi ini aku mendengar dua orang gadis pirang yang duduk di belakangku berbisik-bisik tentang 'si anak baru penggoda'—aku juga sepertinya tidak punya pilihan lain selain mengangguk dan tersenyum saat Stefhan lagi-lagi menawarkan bangku kosong di sebelahnya untukku.

"Bagaimana harimu sejauh ini?" tanya Stefhan, menyunggingkan senyum hangatnya sepersekian detik sebelum beberapa gadis yang tertangkap basah sedang melihat kearah kami mengeluarkan suara seperti terkesiap.

"Ini belum cukup jauh," jawabku, mengabaikan tatapan-tatapan dengan sengatan listrik disekelilingku. "Yah, aku masih si pendatang baru."

"Haha, kau tidak benar-benar datang dari Planet lain dengan atmosfer yang berbeda, lagipula. Ini masih negaramu."

"Kadang-kadang tidak terasa begitu disini."

Ia tertawa sekilas lalu melirik kearah pintu, Mr. Lewis sepertinya tidak biasa terlambat ke kelas seperti ini. "Sejarah setelah jam istirahat, 'kan? Kau sudah mengerjakan esai tentang Perang Dingin?"

"Ya. Tidak terlalu susah, sih.Aku sudah mempelajari bab itu sebelumnya. Kau sudah?"

"Aku benar-benar melupakannya. Tapi Mrs. Rowell akan memberi sedikit kesempatan bila ada alasan yang tepat untuk itu." Stefhan mengerling penuh arti.

"Aku akan mengingatnya lain kali."

Ia lagi-lagi tertawa kecil, seakan-akan semua kata-kataku menyuarakan candaan yang lucu. Mau tidak mau aku ikut tetawa juga.

"Aku mencoba melupakan esai Bahasa Perancis, walau akhirnya tidak berhasil. Tapi walau sudah kukerjakan, sampai sekarang pun aku bahkan masih belum yakin kalau aku menyusun kalimat-kalimat itu dengan benar. Yah, apa salahnya, kan, mencoba."

"Bahasa Perancis?" tanyanya. Kelihatannya ia baru sadar kalau mungkin saja di sekolahku yang sebelumnya aku tidak mempelajari Bahasa Perancis. Nadanya sangat meremehkan. "Yah, aku bisa membantumu kalau kau mau. Aku pernah mengambil kursus Bahasa Perancis sekali. Walau sudah sangat lama, aku yakin Bahasa Perancisku masih tidak terlalu buruk. Lagipula, ayahku juga pasti akan sangat senang kalau tahu kita berteman baik."

MASK(S)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang