HUJAN

24 1 0
                                    

Kabut menyelimuti Bandung pagi itu, dan dingin begitu dahsyat menusuk pori-pori. Orang-orang bergegas pergi ke sekolah karena di berita telah disiarkan bahwa pagi ini Bandung akan di guyur hujan yang lebat.

"Cepet atuh Novella makannya, nanti keburu hujan." Cerewet ibuku mulai mengusik gendang telingaku

"Iya bu, bentaran dikitlah."

"Pake jaketmu biar gak sakit lagi, sekarang kamu berangkat sama bapkmu yah."

"Iya bu."

Dret.. Drett..

Dua pesan masuk, dari Rendy dan Rey, dan kedua pesan itu isinya sama.

"Kamu masuk sekolah gak hari ini?."

"Iya," balasanku untuk Rendy dan Rey.

Dreerr.. Dreett..

Dua pesan masuk lagi, dari Rendy dan Rey. Dan lagi lagi isinya sama.

"Mau aku jemput?"

"Gak usah aku di antar bapak," balasanku untuk Rendy dan Rey.

Drett.. Drettt..

Handphoneku bergetar kembali untuk yang terakhir kali. Kedua pesan hapir sama hanya saja ada tambahan dari Rendy.

"Ya sudah, aku berangkat sekolah dulu ya Vell. Hati-hati dijalan," isi Chat dari Rey.

"Ya sudah, aku berangkat sekolah dulu ya Vell. Hati-hati dijalan. I Love You," isi chat dari Rendy.

"Iya kamu juga," balasan chat ku untuk kedua orang itu, Rendy dan Rey.

"Vella ayok," bapak sudah memanggil, ibu menenteng jaketku.

"Hati-hati ya," ujar ibu sembari menyodorkan tangannya untuk ku cium.

"Iya bu, aku berangkat. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Angin seakan menggila, dan gerimis membuatku pusing, namun itu bukan hal yang mempengaruhiku untuk tidak sekolah. Bapakku kebetulan kepala sekolahnya jadi bisa berangkat bareng, biasanya aku tidak mau berangkat bareng pake mobil sama bapak, soalnya kalo aku berangkat bareng sama bapak aku tidak bisa menikmati udara Lembang yang sangat segar dibandung.

Mobil jadul bapak masih sanagat nyaman, sambil mendengarkan Murotal Al-Qur'an, bapak mencoba membetulkan sepion tengah yang sedikit bengkok karena jalan bebatuan yang belum di aspal.

Tiiiittttt.

Suara itu mucul dari kelakoson bapak. Degg... Degg... Suara jantung bapak seakan jelas ku dengar.

"Awas pak," teriakku.

Dan Duuuuaaarrrrr.

Naas seorang anak kecil muncul secara tiba-tiba sehingga membuat mobil bapak oleng dan mengalami kecelakaan. Serpihan kaca mobil itu menimpa wajahku dan mataku sampai mengakibatkan kebutaan bagi mata sebelah kiriku, dan bapakku meninggal di tempat.

Itu adalah bagian tersedih bagi kisahku. Aku koma selama dua hari sehingga aku tidak bisa melihat ketika bapak dimakamkan aku tak bisa melihat bapak ketika mengenakan kain kafan aku tak bisa mencium bapak disaat dia menutup untuk yang terakhir.

Air mata itu terus mengalir melintasi kedua pipiku, tangan kananku di genggam Rendy, kakakku sedang mencari makanan di luar untukku santap, ibu masih di rumah untuk mempersiapkan pengajian rutin untuk bapak dan di samping jendela di luar kamar rumah sakit, sekilas ku melihat Ray sedang mengintip dengan wajah yang murung, bola matanya berarah kebawah dan pandangannya kosong tak berpenghuni. Mungkin ia sedang berfikir dan bertanya pada hatinya "Mengapa aku mencintai seseorang yang tidak memilihku," aku menduga kata kata itu meluncur dibenaknya.

Ku lihat Ia seperti ingin melangkah ke arahku namun ketika Ia melihat Rendy sedang disampingku kakinya seakan terhenti dengan sendirinya.

Bibirnya kaku mungkin Ia sedang memikirkan sesuatu yang tidak bisa ku tebak. Jaket Jeas yang dipakai seakan menatap sinis menyalahkan hati atas kekejamanku yang memberikan harapan menyakitkan kepadanya.

Ia menunduk membalikan badan. Matanya terpejam seakan jatuh mempermalukannya. Ku lihat Ia menghela nafas lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Aku tak bisa berfikir apa-apa, yang ku rasakan hanyalah kehilangan yang sehilang-hilangnya. Kehilangan yang tak bisa digantikan dan kehilangan yang tak bisa di terima oleh hati untuk di wakilkan. Nafasku seakan layu menghadapinya.

Tuhan. Mengapa kau begitu cepat ambil bapak dari pelukanku. Aku merasa baru sekejap aku hidup bersama bapak. Apa daya tanganku, yang Kuasa sudah menggerakannya, aku tak bisa memaksa, aku tak bisa mempertahankan bapak. Semoga bapak di terima di sisi Allah dan menjadi salah satu penghuni surga. Amin.

***

Satu bulan berlalu. Aku mulai terbiasa dengan ketidak adaan bapak. Namun sebagian orang masih ada yang kerumah untuk menengok ibu sambil memberi ucapan belasungkawa.

"Jangan di inget inget lagi ya," mata Rendy menyorot mataku yang menandakan ia sedang berbicara serius.

"Kenapa ?"

"Ada hadits yang mengatakan bahwa orang yang meninggal sudah tidak ada hubungan apa apa lagi dengan kita. Takutnya ada yang memanfaatkan nya."

"Maksudmu ? Memanfaatkan gimna."

"Iya dimanfaatkan oleh jin-jin yang menyerupai bapakmu."

"Iya-iya aku mengerti."

Kali ini Remdy tidak mengatakan "Nangis aja yang kenceng gak apa-apa kok," mungkin aku yang terlalu berlarut larut mendalami kehilangan bapak sehingga semua tugas dalam hidup ku terbengkalai.

"Kehilangan bapak bukan berarti kiamat kan ? Ayok semangat. Nanti bapak malah sedih kalo liat kamu terus sedih," lanjut Rendy yang membuatku sedikit tersenyum.

"Sebelum bapak meninggal apa bapam ada ngomong sesuatu gitu ?"

"Ada."

"Apa ?"

"Kejar tuhanmu makan kesuksesan dan jodoh akan mengejarmu"

"Mmm gitu ya," Rendy sedikit menunduk sambil mengusap bibirnya dengan telunjuk seolah terlihat sedang berfikir.
.
.

Bersambung.....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PDKTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang