18. Ketenangan

2.5K 138 2
                                    

Setelah menangis cukup lama. Tiba-tiba Randu batuk, dan seketika aku berhenti menangis.

"Sayang, kenapa kamu menangis sampai seperti itu? Tadi aku cuma tidur dan bermimpi berada ditempat yang indah. Dan aku mendengar tangisanmu dan suara itu membangunkanku ."

Aku dan Ibu Randu langsung memeluknya tanpa menjawab pertanyaan darinya.

Aku berlari memanggil dokter.

Ternyata benar, Randu kembali seperti semula. Jantungnya berdetak, seluruh anggota badannya kembali normal.

Terimakasih Tuhan, telah mengembalikan Randu. Aku berjanji tak akan menyia-nyiakannya lagi.

____________

Setelah proses yang cukup panjang, banyak halangan rintangan begitupun juga maut yang mau memisahkan kita. Akhirnya aku bisa kembali bernafas lega.

Randu sudah benar-benar pulih.

Yang dulunya aku jarang sekali menelfon Randu. Sekarang, hampir tiga kali sehari aku menelfonnya untuk memastikan bagaimana keadaannya.

Kita yang semulanya jarang bertemu, sekarang selalu meluangkan waktu setiap weekend.

Semenjak kejadian kemarin, aku berubah menjadi seorang yang super duper cerewet, seperti selalu ingin tau apapun kegiatannya dan menjadi sedikit overprotect. Dan perihal tentang Fahmi. Ahhhsudahlah, tak perlu dipertanyakan lagi. Biarkan  menjadi masa lalu.

Karena aku tak mau lagi, kehilangan Randu untuk yang kedua kalinya. Semoga saja Tuhan mengabulkan permintaanku sekali lagi.

Beberapa bulan kemudian.

Suatu sore, saat kita sedang menghabiskan waktu bersama.

"Sayang, aku pengen ngomong serius?"

"Iya, mau ngomong apasih?"

"Kita kan udah lama bareng, masak hubungan kita cuma sampek tunangan aja. Nikah yuk." Katanya sambil tersenyum.

Sontak aku tertawa, seperti lagi bercanda saja Randu berkata begitu.

"Kamu ini ada-ada aja." Sahutku dengan tawa yang masih menyelimuti.

"Sayang, aku serius. Kita mau nunggu apalagi? ".

Shatt, ternyata Randu serius. Keringat dingin mulai membasahi pipiku.

"Tapi sayang, aku masih mau berkarier dulu. Aku kan baru beberapa tahun terjun didunia militer."

"Tapi sampai kapan? Toh, kariermu sekarang lagi dipuncak. Masih kurang apalagi?"

Jujur saja, karierku saat ini memang cukup bagus. Bisa dibilang mencapai puncak. Aku baru saja naik jabatan dan sebenarnya itu bukan alasanku menolak cepat nikah.

"Kalo aku nikah sekarang, nanti karierku gimana?"

"Aku gak akan ngelarang kamu berkarier nantinya. Aku selalu dukung kamu. Jadi gimana sayang?"

Waduh, bagaimana ini? Haruskah aku jujur mengapa aku tidak mau cepat menikah.

"Kasih aku waktu ya sayang." Jawabku sambil tersenyum.

Namun disisi lain, raut wajah Randu menjadi kusut. Mungkin dia bertanya-tanya, mengapa aku tak mau segera menikah. Padahal hidup dengannya menjadi keinginan terbesarku.

Maafkan aku Randu, kali ini mengecewakanmu.

Randu DirgantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang