Biarkan rasa itu terbiasa

153 9 4
                                    

Dan biarkan rasa itu hadir karena terbiasa


***


Arvin berjalan menuju lapangan basket dengan memikul tas berwarna hitam di lengan tangan kanannya dan bola basket di tangan kirinya Terlihat dari kejauhan sosokku yang menunggunya sejak tadi.

"Udah dari tadi?" Tanya Arvin.

"Pake nanya! Udah jamuran nih." Gerutuku.

"Jelek deh kalau ngambek gitu." Ujar Arvin yang tak memandang ke arahku. Tangannya membuka resleting tas bagian depan untuk mengambil sesuatu.

"For you." Ujarnya dengan memberikan satu buah cokelat kesukaanku.

"Tumben?" Tanyaku heran.

"Sebagai tujuan supaya kamu tambah semangat lagi." Jawab Arvin dengan memasang wajah tersenyum manis.

Astaga...
Aku emang gak naksir dia, tapi tingkahnya seolah bikin aku untuk ngefly tiap sama dia.

"Makasih. Kok kamu tau cokelat ini?" Tanyaku.

"Aku itu punya sihir yang bisa membaca pikiran orang." Ledeknya.

"Hah?" Jawabku tercengang.

Arvin tertawa terbahak-bahak melihat ekspresiku yang terlihat ragu.

"Mana mungkin aku bisa sayang. Becanda." Ujarnya.

"Ngeselin kamu." Gerutuku dengan tanganku yang sekarang sudah ada di perutnya untuk mencubitnya.

"Aaa sakit tau." Ujarnya dengan manja.

Aku hanya menjulurkan lidah dan berlari menghindar darinya.

Aku memakan cokelat dari Arvin dan menatapnya dengan penuh senyuman. Bisa juga anak seperti dia asyik seperti ini.

"Hei, kok melamun?" Tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Apa sih." Jawabku sekenanya dan tanganku refleks mendarat di pipinya.

"Untung kamu cewek. Sabar." Gumamnya dengan mendengus kesal.

1  jam aku dan Arvin bermain basket, tanpa aku sadari aku aku merebahkan tubuhku di pinggir lapangan basket. Arvin mengikuti langkahku dan menatap ke arahku. Aku memejamkan mata sesaat.

"Kamu cantik, tapi sifat kamu dingin. Kamu gak pernah sadar kalau ada orang yang ingin memilikimu." Batin Arvin.

Arvin membelai rambutku dengan lembut, menatap penuh kasih sayang.

"Aku ingin memilikimu meski hanya sekejap." Batinnya lagi.

Seketika aku terbangun dari lelap tidurku. Aku menyadari jika aku tertidur. Aku menatap ke atas terlihat sinar matahari memancar.

"Aaa silau." Aku menutup mataku lagi.

"Kamu mau tidur disini?" Tanyanya.

"Bukannya nolongin gitu." Gerutuku kesal.

Arvin mengulurkan tangan ke arahku dan aku pun bangun. Tarikan Arvin terlalu kencang yang membuat aku menabrak tubuhnya. Kepalaku berada di dadanya. Terdengar detakannya yang begitu keras. Tangannya membelai kepalaku penuh kasih sayang.

"Tuhan... perasaan macam apa ini." Batinku.

Aku segera melepaskan dekapan Arvin dan bergegas mengambil tas di pinggir lapangan. Pipiku terlihat memerah, tanganku hanya meremas rok yang terlihat salah tingkah.

"Aku hanya ingin kamu tau bahwa aku mencintaimu, Evelyna." Batin Arvin.

Tangan kiriku menarik Arvin dengan kencangnya untuk segera menuju parkiran karena hari semakin sore.

"Besok aku jemput kamu, dan kamu harus udah siap." Cetus Arvin.

"Kamu itu seolah bodyguard yang kemana-mana harus jagain aku terus." Ucapku kesal.

"Itu tugasku 1 minggu." Ujarnya.

"Tugas kamu itu hanya mengajari aku basket, bukan supir atau bodyguard aku." Jawabku.

"I don't care! Itu terserah aku." Ucapnya lagi.

Aku merasa kesal ketika harus kslah ketika berbicara dengannya.

Tin... tin... tin...

Mobil yang kunaiki dan Arvin tiba di depan halaman rumahku. Mamah menyambut dengan senyuman manis. Arvin berpamitan kepada mamah.

"Gak mampir nak?" Tanya mamah.

"Udah petang tante. Besok pagi Arvin kesini lagi kok." Ujarnya.

"Arghhhh...." gerutuku.

Sok akrab sekali mamah dan Arvin. Aku meninggalkan mereka berdua yang sedang berbincang-bincang.

"Kenapa aku harus bertemu makhluk ribet seperti dia." Gumamku.

Aku berjalan menaiki tangga dengan menatap wallpaper di ponselku.

"Mike Nugoro." Batinku.

"Kelak kamu akan mengerti perasaanku ini." Gumam Arvin yang melaju mengendarai mobilnya meninggalkan kompleks.

HARI BERSAMANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang