Cinta dan luka

180 10 8
                                    

Terkadang  cinta dan luka itu beriringan.


*** 

"Anak-anak sekarang kalian ganti kaos olahraga! Kita akan ujian penilaian permainan bola basket." Ujar pak Agus, guru olahraga muda yang tampan. 

"Iya pak." Jawab anak-anak serempak. 

Aku dan Salma bergegas menuju ruang ganti. 

"Basket! Aku gak suka!" Gumamku yang tak jelas. 

"Kamu ngapain sih Vel?" Tanya Salma dengan muka datarnya. 

"Gak papa." Jawabku sekenanya. 

Aku tak menyukai basket sejak kecil. Basket meningatkanku pada masa kecilku bersama seorang laki-laki. 

"Arghh... tuhkan ingat masa itu." Ucapku dalam hati. 

"Kemana dia sekarang?" Tanyaku dalam hati. 

Seketika Salma membuyarkan lamunanku tentang sosok laki-laki masa kecilku. 

***


"Saya umumkan yang mendapatkan nilai terendah... Vely." Suara Pak Agus lantang. 

"Huft... sudah kuduga." Gumamku dalam hati. 

"Kamu harus latihan! Kamu minta bantuan ke Arvin! Batas waktu hanya 1 minggu." Ucap Pak Agus.

Arvin....

Laki-laki itu lagi. Dan lagi aku harus berhadapan dengan laki-laki ngeselin.

"Kenapa harus dia sih?" Tanyaku.

"Kamu gak boleh ngebantah!" Jawab Pak Agus.

Aku hanya bisa mendengus kesal.

***


"Sore nona cantik." Sapa arvin dari kejauhan.

"Hem." Jawabku singkat.

"Jutek banget. Ya udah, gak jadi kan latihan basketnya?" Ledek Arvin.

 Arvin berbalik arah dengan membawa sebuah bola basket di tangan kanannya dan seolah tersenyum getir.

"Ya udah ayo buruan." Ucapku dengan bete.

30 menit aku dan Arvin bermain, tetap saja aku tidak bisa.

"Sudahlah aku lelah." Gerutuku.

Aku duduk di tepi lapangan basket yang terdapat bangku besi tempat untuk beristirahat. Aku sengaja meluruskan kakiku yang sejak tadi sudah pegal. Arvin berjalan menyusulku yang sudah terduduk santai.

"Besok latihan lagi." Ucap Arvin.

"Aku gak mau." Jawabku sekenanya.

"Oke gampang, aku tinggal kasih nilai C." Ancam Arvin.

Ancaman Arvin membuat tekadku yang tak ingin latihan lagi kuurungkan.

"Yaudah iya aku mau latihan lagi." Jawabku dengan memasang wajah kesal.

Aku mengambil tas berwarna pink yang terletak tepat di sampingku, kemudian melangkahkan kaki untuk pergi meninggalkan Arvin.

***

Aku bergegas menuju parkiran yang letaknya lumayan jauh dari lapangan basket. Ketika mataku berkeliaran mencari mobil spot berwarna merah berada, mataku tertuju pada satu sudut. Aku melihat sosok laki-laki yang tak asing untuk pandanganku bersama wanita lain.

"Mike nugoro?" Tanyaku dalam hati.

Rasanya sakit seperti tertusuk-tusuk duri. Sakit sekali. Melihat seseorang yang aku cinta sejak lama ternyata bersama cewek lain.

Aku bergegas menuju kearah mobil yang terdapat didekat Mike dan cewek ganjen itu berdiri.

"Sakit." Batinku.

Aku menyetir mobil dengan kencangnya meninggalkan parkiran sekolah. Sepanjang jalan air mataku hanya menetes bercucuran.

"Mengapa aku bisa jatuh cinta sama seseorang yang sama sekali tak menganggap kehadiranku. Mengapa aku sampai meneteskan air mataku ini. Mengapa aku sebodoh ini dalam mencintai seseorang." Batinku yang semakin kacau.

Aku benar-benar merasakan sakit melihat orang yang kusuka bersama cewek lain. Aku memang tak pantas untuk seperti ini, tapi aku sudah mencintai dia sejak lama dan terasa menyakitkan melihat pemandangan yang mengecewakan mata.

Mobil spots berwarna merah yang kukendarai sudah memasuki gang dan menuju rumahku yang berwarna hijau di ujung kompleks. Kusegerakan menghapus air mataku yang menetes karena hal tak penting itu.

"Aku gak boleh di bodohkan karena cinta." Batinku dengan memasang wajah tersenyum.

Di depan rumah Bik Ijah sudah menungguku dengan tatapan penuh sayang.

"Non Vely kok baru pulang?" Tanya Bik Ijah.

"Maaf Bik untuk 7 hari ini Vely ada tambahna latihan basket." Ucapku.

Aku dan Bik Ijah berjalan memasuki rumah dan langsung menuju kamar. Aku yang memasang wajah lesuh menjadi pusat pandangan Bik Ijah. Bik Ijah menghentikan langkahku menaiki tangga.

"Non Vely sakit?" Tanya Bik Ijah.

"Enggak kok Bik. Vely baik-baik aja." Jawabku sekenanya.

Bibik hanya memasang wajah bingung.

"Vely ke kamar dulu Bik."

Aku melanjutan langkahku menuju kamar. Ketika aku berada di kamar, aku memeluk salah satu boneka doraemon yang berukuran besar dan bersandar di kursi santai.

"Aku memang bodoh dalam hal cinta." Ucapku dalam hati.

Aku terdiam memandangi langit.

"Aku dan dia hanya seperti siang dan malam. Gak akan pernah bisa bersatu."

HARI BERSAMANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang