"Guru Prakarya tidak masuk!"
Teriak salah satu siswa yang baru saja memasuki kelas sambil terengah-engah.3 detik kemudian, kelas Jennie dan Juna itu berubah menjadi kandang ayam, ada yang berteriak kesenangan, meloncat-loncat kegirangan karena kali ini ada jam kosong.
Juna yang sedari tadi hanya duduk diam kali ini berlari keluar kelas.
Jennie yang menyadari hal itu berdecih pelan. Ia tahu, Juna pasti pergi ke kelas Cecil, hanya untuk melihat kekasihnya itu.Jennie berdecih lagi, ia melepas jas coklat sekolahnya itu, melipat lengan kemejanya hingga ke siku, menenggerkan jasnya dan bangkit dari duduknya untuk makan di kantin.
Ia hanya memesan ramen instant, kepulan asap hangat keluar dari cup ramennya itu.
Pikirannya saat ini penuh dengan Juna. Hanya Juna, Juna, dan Juna lagi, ia muak.
Ia muak, ia bosan, seharusnya pikirannya dipenuhi oleh rumus-rumus sekarang, bukan lelaki itu.
Ia mulai menyuapkan ramen tersebut ke rongga mulutnya. Makan, mungkin bisa membuat moodnya menjadi lebih baik.
"Slurpp"
"JENNIE!" Teriak seseorang dari ujung kantin sana.
Jennie yang merasa namanya disebut itu menghentikan aktivitasnya langsung.
Setelah siapa tahu orang yang memanggilnya dengan senyum sumringah tadi, Jennie mendengus sebal, orang itu lagi, pikirnya.
Jennie melanjutkan menyelurupkan ramennya tanpa peduli orang yang sedang duduk di depannya sambil tersenyum.
"Kau mau apa?"
Terdengar tawa ringan dari orang itu.
"Kau sedang datang bulan? Hah?" Tanyanya balik sambil menampilkan deretan giginya yang rapi itu.
"Jangan membuatku ingin mematahkan tulang belikatmu disini, Lucas," balas Jennie geram.
Lucas, begitulah ia dipanggil. Sahabat Jennie yang benar-benar dekat dengan Jennie selain Juna. Urat malunya mungkin sudah putus, terkadang ia bisa saja menjadi moodbooster dadakan bagi Jennie.
"Woah, ramen!" Lucas mengambil penuh alih cup ramen Jennie dan mulai memakannya.
Jennie memijat pelipisnya, tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya satu ini.
"Oh iya, aku hampir saja lupa, nanti sehabis pulang sekolah aku ke rumahmu, ya?" Pinta Lucas sambil menoel pipi Jennie singkat.
Jennie tidak menjawab, ia menekuk wajahnya, mencoba lebih berkonsentrasi.
Waktu berlalu, saat ini ia ada dalam bis untuk pulang dengan Lucas di sampingnya.
Sesampainya di rumah, dua remaja itu mendudukkan dirinya masing-masing di sofa, Jennie mulai menyalakan televisinya dan memilih saluran drama Korea.
Sementara dengan Lucas? Ia sibuk bercerita hal apapun yang ditemuinya tadi, mulutnya tidak pernah berhenti mengeluarkan sepatah kata apapun, sudah Jennie bilang, urat malunya mungkin sudah putus.
"Diamlah sedikit, aku mau menonton dengan tenang," pinta Jennie geram, Lucas terdiam dibuatnya.
Mungkin keduanya memang benar-benar lelah, buktinya saat ini dua orang sejoli itu tertidur pulas dengan posisi kepala Jennie yang bersandar di bahu Lucas, dan tangan Lucas yang merangkul pundak Jennie.
Apakah pelajaran di kelas akhir bisa membuat siswanya kelelahan seperti ini? Tentu saja.
Padahal sebelumnya Jennis dan Lucas sama sekali duduk berjauhan.
Tangan Jennie beralih memeluk tubuh Lucas tanpa ia sadari, mungkin keduanya benar-benar kelelahan.
"J-jennie?"
Sontak dua remaja yang tertidur tadi terbangung secara terkejut.
Itu Juna, Arjuna Roger Arthes.
Jennie langsung tersadar, ia membelalakkan matanya, Juna menatapnya tidak percaya.
"J-juna, ini tidak seperti apa yang kau lihat, percayalah," bantah Jennie yang seakan mengerti pikiran Juna.
Lucas? Ia masih belum sadar dengan penuh, ia hanya mengucek-ucekkan matanya, dan kembali menguap.
"Ah, sepertinya sudah sore, aku kembali dulu ya, Jen," pamit Lucas setengah sadar, ia berjalan gontai ke arah pintu masuk dan menghiraukan Juna yang menatapnya intens.
Hari sudah malam dan saat ini Juna sedang marah-marah tidak jelas pada Jennie karena kejadian tadi.
"Kau salah paham, Jun," jelas Jennie, Juna menggelengkan kepalanya.
"Bohong!" Bantah Juna sambil membuang pandangannya ke balkon kamar Jennie.
"Jun," panggil Jennie seraya meraih tangan Juna, namun langsung ditepis oleh Juna secara kasar.
Jennie sungguh tidak mengerti, mengapa Juna bisa marah? Apakah kesalah pahaman tadi benar-benar fatal?
"Kau perempuan murahan, Jen,"
Jennie membeku, perasaannya mencelos, ada rasa amarah yang teramat besar dalam tatapan matanya itu.
Ia tidak percaya, sungguh. Juna dengan beraninya mengatakan hal itu.
Apa masalahnya? Lucas juga temannya!
"Kau sama saja seperti perempuan yang lain, selama ini aku salah, aku mengira bahwa kau berbeda dari yang lain," timpal Juna lagi, pandangannya tetap masih terfokus pada balkon kamar Jennie.
Oke, setetes cairan bening sudah mengalir di pipi chubby milik Jennie.
Menyadari hal itu, ia menyekanya secara paksa, ia harus terlihat kuat.Jennie berlari keluar kamar, mengambil Coat, memasukkan baju sekolah ke dalam tasnya, dan memasang syal di lehernya.
"KAU MAU KEMANA JENNIE?" Tanya Juna terkejut, sementara Jennie sibuk dengan pekerjaannya.
"A-aku minta maaf, ta--"
Belum sempat ia melanjutkan perminta maaf-nya, ia sudah dipotong dahulu oleh Jennie."Terserah kau ingin bilang apa, perempuan murahan sepertiku lebih baik pergi bukan?" Tanyanya dengan nada yang dingin.
"T-tunggu!"
Juna meraih tangan yang hendak pergi itu, ia menggenggamnya."Lepas Jun, Cecil pasti tidak akan suka jika melihat ini," titah Jennie dengan nada yang benar-benar dingin.
Perlahan-lahan dilepasnya genggaman tangan itu.
Jenni segera memasang sepatunya, dan langsung pergi.Juna masih menatap pintu yang baru saja dilewati gadis itu.
"BODOH!!!!!" Marahnya pada diri sendiri.Juna benar-benar bodoh, bisa-bisanya ia mengatakan hal itu pada sahabatnya itu? Dan lagi, ia membiarkan gadis itu pergi malam-malam, sendiri, dan cuaca di luar benar-benar dingin.
Juna mendudukkan dirinya di sofa. Tatapannya kosong, ia masih tidak percaya telah mengatakan hal kasar itu terhadap sahabatnya.
Tolong lepaskan aku.
Bebaskan aku dari perasaan ini.
Tapi.
Aku tidak yakin.
Apakah aku bisa bahagia tanpa dia?HAI BEBEB BEBEB AQ
TYPO EPERIWER
AI LAF YU
VOMMENT JAN LUPA
AQ NEWBI NICH
MAAPQAN BERBI YA
😚😚
