5. Tulip Merah

1.4K 281 21
                                    

Haechan kembali ke kamar Mark dan terkejut melihat kakaknya yang kini terduduk di lantai sambil menangis terisak.

Dengan cepat ia menghampiri dan membantu kakaknya untuk mendudukannya kembali ke kasurnya walaupun sempat ditolak kasar oleh Mark.

"Kak Mark jangan menangis lagi. Aku sudah mengusirnya." ucap Haechan sambil memeluk dan mengusap punggung Mark dengan lembut agar bisa menenangkannya.

"Bajingan itu sudah pulang?" tanya Mark yang masih sesenggukan sambil mengusap air matanya dengan kasar.

"Iya. Aku menyuruhnya untuk tidak kembali lagi karena aku tak ingin melihat kak Mark bersedih." jawab Haechan dengan nada lembutnya.

"Berjanjilah padaku bahwa kau tak akan menangis lagi." lanjutnya.

Mark melepaskan pelukannya pada Haechan.

"Kau tahu? Bahkan aku belum pernah melihat wajahnya. Aku tidak tahu dirinya seperti apa. Tapi dia membuatku seperti ini." Mark menggigit bibirnya.

"Aku membencinya." ia mengepalkan tangannya dan memejamkan matanya.

Tak terasa pipi Mark telah basah oleh air mata. Ia menangis lagi.

Mark menunjuk matanya, "Karena dia, aku tak bisa melihat apa-apa lagi."

"Dia yang membuatku menjadi buta."

"Aku adalah orang tersial di dunia ini hiks- kenapa aku tidak mati saja-"

"Kak Mark cukup!"

Haechan meninggikan suaranya, ingin marah rasanya mendengar kalimat yang terucap dari mulut Mark baru saja.

Bagaimana bisa kakaknya yang dulu selalu bersyukur, pekerja keras dan tak kenal kata menyerah ini sekarang menjadi lemah dan putus asa seperti ini.

Haechan mengusap air matanya yang terkumpul di pelupuk matanya.

"Kenapa kau jadi lemah begini? Kehilangan penglihatan bukan berarti kehilangan harapan. Dan satu lagi, banyak orang diluar sana yang berjuang untuk bisa hidup, namun kenapa kau malah menginginkan kematian? Tidaklah kau bersyukur karena Tuhan masih memberikanmu kesehatan? Aku tahu kau tak bisa melihat, tapi semua organ tubuhmu itu masih sehat dan berfungsi."

"Kau terlalu egois. Apa kau tak mengerti perasaan ibu jika ibu mendengar kau berkata seperti itu? Apa kau sudah tak menghargai nyawamu lagi? Ayah pasti juga tidak suka melihat kau yang putus asa seperti ini."

Haechan merasakan air matanya mengalir karena teringat mendiang ayahnya.

"Never let anything take your smile away. Dulu kau sering berkata seperti itu padaku. Sekarang terapkanlah."

Mark kembali memeluk Haechan. Ia sadar, ia seharusnya tak seperti ini. Tuhan pasti tidak suka melihat dirinya yang putus asa.

Mark juga teringat pesan-pesan ayahnya saat masih hidup dulu. Ia masih mengingatnya.

Senyum tipis menghiasi bibirnya. Perkataan dari Haechan tersebut  mampu membuatnya menjadi lebih baik.

Benar kata Haechan, ia hanya buta, ia masih memiliki organ yang utuh dan bisa digerakkan, bahkan ia masih bisa memeluk Haechan seperti sekarang ini.

"Terimakasih Haechan. Kurasa kau sudah dewasa sekarang." ucap Mark sambil tertawa kecil dengan sisa-sisa air mata di kelopak matanya dan juga pipinya.

"Aku memang sudah dewasa. Kau yang kekanakan." ucap Haechan dengan nada yang dibuat sedatar mungkin.

"Maaf,"

Haechan melihat Mark yang tiba-tiba menundukkan kepalanya.

Oh tidak, jangan-jangan Mark tersinggung dengan kata-katanya.

Étranger ㅡ LumarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang