THE LUNCH ROOM IS NOW SERVING BEER, WINE, AND MIXED DRINKS
Seorang lelaki yang sedang membaca papan pengumuman restoran kini mengerutkan dahinya. Dia mulai ragu apa ini memang tempat yang dimaksud kakaknya.
Pemuda itu memandangi sekitar, memperhatikan interior bangunan yang mayoritas berbahan kayu. Manusia yang satu tanah air dengannya berkeliaran, suatu keadaan yang kembali ia rasakan baru-baru ini.
"Selamat datang di The Lunch Room, nama saya Smee. Apa anda perlu bantuan?" tanya seorang pelayan yang berjalan mendekat. Ia cukup tua, matanya berwarna biru dan kulit mengerutnya kemerah-merahan.
"Hai Smee, senang berjumpa dengan anda," jawab si lelaki sambil menjabat tangan Smee. Namanya Elva Kaitabia Schriber, baru dua bulan kembali menginjakan kaki di Indonesia. "Kau mirip kakekku."
"Oh, sungguh?"
"Ya, kakek angkat, kalau kau bertanya-tanya." Elva kemudian menyadari tugasnya. "Apa ini restoran vegan?"
"Benar, dan apa anda vegetarian?"
"Tidak. Tidak akan pernah. Oh, tapi kakakku seorang vegetarian yang malas berjalan. Dia menyuruhku kemari untuk membelikannya apapun menu dinner malam ini."
"Friday dinner kami bertemakan Around The World Night."
"Kalau begitu aku akan memesan menu vegan Afrika Selatan."
Smee terkekeh sambil mengeluarkan catatan kecil dan sebuah pulpen. Setelah ia mendata semua pesanan Elva, Smee pun berjalan pergi ke dapur, meninggalkan si pemuda di meja dekat jendela.
Mata Elva mengikuti punggung pria itu hingga sampai di titik lain. Suatu pengalihan besar-besaran yang seketika membuatnya menghela napas.
Beberapa meter di sana, persisnya di balik rak transparan bermuatan glutten free donut, seorang gadis tengah merapikan rambut yang terpaut di topi kerjanya. Kemudian ia mengambil sejumlah paper bag berisi kudapan dan memberikannya pada konsumen yang berbanjar, sambil tersenyum.
Betapa penglihatan Elva tidak bisa lepas dari gadis itu. Bukan karena cantiknya, sekalipun memang cantik. Tapi kalau Elva sungguh semudah itu terpikat pada perempuan, maka kelopak matanya akan sangat jarang berkedip semasa tinggal di Jerman. Bukan berarti di Indonesia tidak ada yang cantik, tapi dia belum bertemu yang se-memikat gadis itu.
Dan memang bukan karena cantiknya, tapi oleh apa yang membekas darinya. Membekas? Ya. Elva mengenal gadis itu. Suatu wujud kasih pada masa lalunya yang kelam.
Adara Sharin Isaura. Bahkan nama panjangnya masih teringat oleh Elva, walaupun sudah bertahun-tahun tidak bertemu.
Rin. Nama panggilannya yang tidak mungkin terlupakan, terbentuk dari suatu insiden yang dimana Elva terlibat di dalamnya.
Namun, sampai Smee datang dan membawakan pesanannya, hingga Elva melangkah keluar dari The Lunch Room, ia tidak menyapa gadis itu sama sekali.
Ini adalah beberapa alasan yang berkutat di kepalanya:
1. Rin tampak tidak menyadari kehadiran Elva.
2. Mungkin memang tidak menyadari. Sibuk kerja.
3. Kemungkinannya besar kalau Rin tidak akan mengenali Elva, karena terakhir mereka bertemu sewaktu kelas 4 SD.
4. Kalaupun mengenali, Rin tidak akan senang melihat Elva.
5. Ah, mustahil mengenali. Elva yang dulu dan yang sekarang bagaikan emoji melet dengan wajah Cole Sprouse, jauh beda.
6. Kalaupun ada mujizat hingga Rin menyadari itu Elva, sungguh dia akan pura-pura lupa.
7. Bagaimana Elva tidak berpikir begitu? Habis, dia pernah hampir, ntahlah, membuat Rin celaka? Ya, kurang lebih begitu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
a Coffee for a Cat
Teen Fiction[CERITA SEDANG DILANTARKAN] "Grumpy cat." "Dog!" "Don't call me dog, please. I'm more cute." "Coffee!" "Loh, kenapa kopi? Haus?" "I hate Coffee with all of my heart." (╯°□°)╯︵(\ .o.)\ Siapa gadis yang menelepon Elva pada tengah malam? Apa tujuannya...