"Nah, kalau kau sering berbuat baik padaku, selalu setia membelikan makanan, aku akan berpihak padamu, Elv," ungkap seorang gadis yang sedang melahap glutten free nuggets. "Aku akan menyampaikan hal-hal baik tentangmu pada Kakek, pasti hatinya tergerak untuk memenangkanmu."
"Dia tetap akan menilai berdasarkan yang lebih berprestasi, Daivan pasti menang," jelas Elva pada kakaknya setelah meneguk segelas susu. "Ah, aku tidak mau jadi juara umum ataupun ketua OSIS. Aku mau jadi siswa biasa-biasa saja, Susan."
"Hoy, 'Kak' Susan, aku ini lebih dewasa."
"Tante Susan."
"Ih, bocah ini." Susan menendang kaki Elva yang bersender pada meja. Mereka berdua tengah bersantai di sofa ruang keluarga, sambil menonton kartun tentang siluman babi jahat yang terperangkap dengan penari balet. "Kartun itu menggambarkan keadaan kita."
"Aku penari balet dan kau siluman bab-"
"Heh, kalau kau mencela terus, aku akan berpihak pada Daivan. Biarkan saja dia mengalahkanmu."
"Terserah, kau berpihak pada Daivan pun tidak akan mendapat apresiasi darinya. Dia itu tidak punya hati."
"Aku tidak mengerti, Elv," sahut Susan yang menghadap Elva tiba-tiba. "Sebenarnya, kenapa kau dan Daivan selalu berlawanan? Apa penyebab kalian bertengkar hebat waktu itu?"
"Karena hanya aku yang berani." Elva menepuk-nepuk dadanya. "Yang lain takut membantahnya, kan? Kita memang anak angkat, tapi aku yakin tujuan Kakek mengadopsi begitu banyak anak adalah agar Daivan punya teman. Kalau dia bisa menghargai orang lain, mungkin persaingan aneh ini tidak akan terjadi. Sayangnya pangeran kita ini terlalu angkuh."
Tepat saat itu, pangeran yang dimaksud Elva berjalan melintas.
"Kak Susan, jangan mengatakan hal yang sia-sia pada anak itu, nanti dia makin malas," cetus Daivan yang berhenti di ujung tangga. "Tujuan Kakek mengirim kami berdua ke Indonesia adalah persaingan. Dia berharap Elva mau menaikan taraf hidupnya agar tidak kalah dariku. Bujukan dari Kak Susan tidak akan mengubah pikiran Kakek. Pada akhirnya, yang lebih berprestasilah yang berhak menentukan masa depan."
"Oh, wahai pangeran, aku yakin kau sangat senang karena Kakek memilih persaingan secara akademis. Kau pasti sangat percaya diri sekarang." Elva pun beranjak dari sofa dengan gestur menantang. "Apa yang mau kau lakukan saat sudah menang nanti, hah?"
"Kau pasti sangat putus asa sekarang. Masa depanmu berada di tanganku. Dari pada berbuat baik pada Kak Susan, kenapa tidak sekalian tunduk dan menjilat kakiku?"
"Wah, aku jamin Kakek tidak akan senang melihat kau mengatakan ini."
"Dia memang tidak pernah senang melihatku!" Daivan membentak, Susan segera berdiri dan berusaha menarik Elva ke tempat lain.
"Tunggu Kak," Elva menepis tangan Susan sembari terus menatap Daivan. "Apa yang mau kau lakukan jika menang?"
"Yang jelas, aku tidak akan kembali ke Jerman," balas Daivan yang mulai melangkahkan kakinya menuju lantai atas. "Tapi aku juga tidak akan mengizinkanmu kembali. Dan, aku tidak mau melihatmu lagi untuk selama-lamanya."
Elva berusaha menahan emosinya, ia kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Malam itu adalah yang terburuk selama dua bulan ini, karena akhirnya semua penghuni rumah saling bicara. Namun bukan pembicaraan yang bagus.
Ia menghela napas berat sambil memejamkan mata. Lalu ponselnya mulai bernyanyi.
Grumpy Cat is calling
***
A/N
_(:з」∠)_
Hey para omnivor, ada yang minat jadi vegetarian seperti Susan?
Me not.Ada yang tahu kenapa Grumpy Cat nelepon?
┐(* ̄︶ ̄*)┌Hehe, terimakasih telah membaca ya. Kalau kalian suka, boleh di tekan bintang kecilnya.
Have a weird day my fwen^ω^
-Fin
KAMU SEDANG MEMBACA
a Coffee for a Cat
Teen Fiction[CERITA SEDANG DILANTARKAN] "Grumpy cat." "Dog!" "Don't call me dog, please. I'm more cute." "Coffee!" "Loh, kenapa kopi? Haus?" "I hate Coffee with all of my heart." (╯°□°)╯︵(\ .o.)\ Siapa gadis yang menelepon Elva pada tengah malam? Apa tujuannya...