7. Buku Apa yang Rin Berikan Pada El?

47 19 12
                                    

Petang yang cerah di hari Sabtu, Elva Kaitabia Schriber si pemalas mulai terbangun dengan bantuan lagu R U Mine? oleh Arctic Monkeys yang berfrekuensi tinggi.

Elva menggeram kesal lalu mengambil ponsel yang masih melantunkan musik kebenciannya. "Susan! Jangan memasang lagu band ini atau aku akan memaksa mereka bubar!"

Ia menatap layar ponsel cukup lama, lupa cara mematikan alarm. Setelah otaknya kembali bekerja, ia menekan lambang jam beker lalu lagu itu berhenti. "Ahh, diberkatilah telingaku!"

Elva meletakan ponselnya, lalu beranjak tidur. Selang tujuh detik, ia kembali membuka mata lalu segera menghidupkan benda pipih yang amat mahal itu.

12.30pm

Pola tidur yang baik. Ia pun menguap sekitar empat detik lalu berjalan menuju dapur. Rumah luas itu sungguh hening, suara air yang mengucur dari dispenser terdengar jelas.

Elva menenggak dua gelas penuh air bening, lalu bersimpuh terpegun di lantai ruang makan. Ya, di situ terdapat kursi yang lebih wajar dijadikan lapak duduk.

"Rin. Namaku Rin."

Suara itu tiba-tiba terngiang di pikiran Elva, membuat matanya membelalak dan pipinya bersemu. Seperti organ tubuhnya mengeluarkan suatu zat unik saat mengingat pernyataan gadis itu. Elva langsung merinding dan perutnya terasa aneh, ia menampar pipi kirinya berkali-kali.

Dia memeluk kursi di dekatnya kemudian menyenderkan kepala. Memori tujuh tahun lalu mulai berputar di pikiran Elva.

Kala itu, ia adalah manusia yang kelewat nista secara intelektual maupun paras, lantaran tidak punya orangtua. Ia dibesarkan di pondok asuhan yang menempa dengan keras, sehingga terciptalah El si pendurhaka--ia sungguh hanya diberi nama 'El', Va Kaitabia Schriber merupakan tambahan selepas ia diadopsi. Dulu minatnya adalah kabur dan merampok, lalu dipukuli.

Ia benci orang lain juga ilmu pengetahuan, sehingga ia tidak menyukai sekolah. Di sana El tidak punya teman serta tidak pandai dalam pelajaran.

Hingga suatu hari saat kelas 4 SD, ada yang mau duduk di bangku sebelah El. Namanya Adara Sharin Isaura.

Gadis itu berusaha keras agar El mau berteman dengannya. El tidak pernah mengatakan 'iya', tapi ia mengatakan hal lain seperti, "Namamu jelek, terlalu panjang."

Mungkin gadis itu berpikir bahwa El sedang iri, jelas! Namanya hanya terdiri dari satu suku kata. Jadi gadis itu menjawab, "Kau mau namaku seperti apa?"

"He-eh? Hmm, Rin. Cukup Rin saja."

"Oke! Mulai sekarang namaku adalah Rin."

El tidak mengerti kenapa Rin berlaku baik kepadanya, dan ia tidak paham metode yang akurat untuk menimpali kebaikan.

Suatu malam yang kelam, El sedang dikejar oleh para pegawai toko roti karena ketahuan mencuri. Rin menolongnya bersembunyi.

El mulai sadar kalau orang baik ternyata sungguh ada. Rin yang paling pertama ia temukan, atau lebih tepatnya, Rin yang paling pertama menemukan El.

Mereka bersembunyi di rumah pohon milik gadis itu, di sana Rin memberikan El sebuah buku yang bagi El sama sekali tidak menarik. Namun sesuatu menggerakan hatinya, dan itulah kali pertama ia berbagi pada orang lain dengan tulus. El memberikan gadis itu sebuah patung bajak laut berukuran kecil yang selalu ia bawa, buatan tangannya sendiri. El memang berbakat dalam bidang mengukir, yang kini sudah ia tinggalkan.

"El, maukah kau menjadi sahabatku?" Rin bertanya tiba-tiba.

"Sahabat?" El tidak tahu harus menjawab apa, dia merasa kurang layak. Namun tepat saat ia ingin menjawab--apapun kata yang bergantung di ujung lidahnya saat itu--seorang pria menemukan mereka. Itu adalah si pelayan toko roti, El tertangkap.

"Hey! Aku telah menemukan si pencuri!"

"Ah?"

"Kena kau!"

"Diam disitu atau aku akan-"

"Apa yang mau kau lakukan, bocah?"

"akan, mem-membunuh gadis ini!"

Tepat saat Elva sedang memikirkan kejadian itu, Daivan yang melangkah ke meja makan sembari menyesap secangkir kopi terkejut melihat tubuh Elva terkapar sambil memeluk kursi. Ia pun tanpa sengaja menyemburkan kopi yang berada di mulutnya ke arah Elva, masih panas.

"Eh? Sialan," cetus Elva kaget. Kejadian itu berlangsung canggung dan keduanya bingung harus bereaksi apa.

Daivan berpaling sebab tak kuasa membendung kekehannya, ia lanjut melintasi Elva, sedangkan makhluk yang dilangkahi itu tidak tinggal pasif.

"Rarrr." Elva mencengkram betis Daivan dengan jarinya, membuat lelaki itu melonjak kaget dan seisi cangkir digenggamannya tumpah ke bajunya.

"Heh-" Daivan terkelu saat Elva tertawa. Momen yang sangat aneh, seperti mengingatkan bahwa mereka berdua tetaplah saudara. Bahwa Daivan dan Elva pernah saling bercanda. Daivan pernah mensyukuri keberadaan Elva, dan Elva akan selalu menganggap Daivan sebagai orang baik.

Seandainya saja tidak ada dinding pemisah bertuliskan 'gengsi' atau 'dia itu sombong sekali' juga 'anak itu telah merebut keluargaku', mungkin mereka berdua telah tertawa lepas sekarang.

Keheningan itu seketika retak saat R U Mine? kembali berputar dari dalam kamar Elva, karena tiga puluh menit yang lalu Elva tidak mematikan alarm melainkan menundanya.

Daivan tersenyum kecil. "Lagu favoritmu, Elv."

***

A/N
_(:з」∠)_
Daivan bagaikan mbah dukun yang menyembur pasiennya

Ada yang bisa jawab judul chapter ini?
┐(* ̄︶ ̄*)┌

#Funfact
Always give 100%. Unless you are donating blood.

Have a weird day my fwen^ω^

-Fin

a Coffee for a CatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang