Bab 13

83 9 0
                                    

Dududududuuuuu......

Adakah yang menungguku? Semoga tak ada ya. Kekeke....

Btw, maaf ya lama sekali hibernasinya padahal tinggal unggah saja. Tapi yah, mau bagaimana lagi.

Baiklah. Menyambut bulan suci Ramadan, pertama-tama aku minta maaf kalau punya banyak kesalahan, apapun itu bentuknya. Lalu yang kedua, berkaitan dengan latar belakang cerita ini, aku cukup miris dengan adanya kasus pengeboman di Surabaya. Itu cukup mengganggu dan meresahkan apalagi di momen menjelang puasa.

Tapi kita tidak boleh lengah. Waspada boleh tapi bukan berarti takut untuk keluar rumah bahkan sampai tidak beraktivitas. Saranku sih cuma satu "Perbanyak berdoa meminta perlindungan pada Tuhan". Tidak hanya disaat genting seperti ini tetapi juga setiap hari.

Ok, terimakasih telah membaca dua paragraf di atas.

Selanjutnya, silahkan baca dan tinggalkan jejak di ceritaku. Boleh komentar atau sekedar dukungan bintang.

Selamat membaca...

***

Mendengar bunyi pintu yang dibuka, Aoyama segera berdiri.

"Arya-san, bagaimana keadaan Siska? Aku melihat dokter dan suster masuk," tanya Aoyama yang sudah tidak bisa menutupi rasa penasarannya.

Ayah Siska tidak segera menjawab melainkan meminta Aoyama untuk duduk kembali.

"Siska baik-baik saja. Tadi dia sempat siuman tapi pingsan lagi. Kata dokter, kemungkinan Siska tertekan oleh ingatan yang buruk."

Aoyama tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya yang ternyata juga diketahui oleh ayah Siska.

"Ada apa, Aoyama-kun? Apakah kamu mengetahui sesuatu?" tanya ayah Siska dengan nada mendesak.

Aoyama menggeleng, "Saya tidak mengetahui secara pasti, yang jelas Siska kutemukan di apartemen teman sesama bimbingan belajarnya."

Ekspresi terkejut yang disamarkan terbaca di raut wajah pria paruh baya itu, "Teman bimbingan belajar?"

Aoyama mengangguk, "Temannya itu dulu satu SMP dengan saya. Saya sudah pernah mengingatkan Siska agar berhati-hati dengan orang itu karena orang itu cukup berbahaya. Saya menyesal karena tidak bisa mencegah hal ini terjadi."

Keheningan beberapa saat membuat Aoyama berpikir bahwa ayah Siska mungkin marah padanya karena telah membiarkan Siska bergaul dengan orang yang salah. Akan tetapi ternyata ayah Siska bisa menyikapi dengan bijak.

"Namanya juga masa muda. Kebanyakan masih labil dan tidak bisa mengerti mana yang baik dan buruk. Apalagi di negara ini."

"Tapi tidak semua laki-laki Jepang seperti itu," sela Aoyama yang kurang terima orang-orang negaranya dianggap tidak punya moral. Meski tidak secara eksplisit, Aoyama bisa menangkap makna tersirat dari kalimat ayah Siska.

Ayah Siska menatap Aoyama, "Memang tidak semuanya. Mungkin satu dari sekian banyak orang."

Aoyama menunduk merenungi kata-kata pria paruh baya itu. Ia juga membenarkan kata-kata ayah Siska.

Ayah Siska berdiri tetapi tidak beranjak dari tempatnya. Sebelum pergi, Aoyama menepuk pundak Aoyama sambil berkata, "Kuharap kamu adalah salah satu orang baik yang kumaksud."

***

Hari berganti dan kegiatan tetap berjalan seperti biasa. Termasuk teman-teman Siska yang prihatin dengan kondisi Siska. Meskipun baru mengakui keberadaan gadis berhijab itu, tidak bisa dipungkiri jika mereka merindukan keunikan Siska. Berbeda dengan teman-teman sekelas Siska, Aoyama merasa sulit berkonsentrasi hari ini. Tidak ada satu pun materi yang membekas di otaknya.

Ai no HaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang