Bagian 52

4.5K 251 1
                                    

Riana berlahan membuka matanya, melihat sekelilingnya begitu gelap. Tangannya begitu terasa nyeri dan sakit. Ia mengedarkan pandangannya yang terbatas, karna suasana gelap gulita.

"Dika.." panggil Riana lirih. Suasana kali ini cukup membuat dirinya merinding, begitu sunyi dan pandangan yang hitam pekat.

"Dika kamu dimana?" Panggil Riana lagi, Riana semakin takut saat tak ada sauttan. Ia seperti berada di ruang hampa yang gelap.

"Rioo!" Teriak Riana lebih keras.

"Rio kamu dimana!" Teriaknya lagi. Kini dirinya mulai cemas. Berlahan ia berdiri dari duduknya. Mencoba meraba sekitar, karna pandangan mata yang tak nampak.

"KEMBALIKAN RIO!! AKU TAU INI PASTI ULAH KAMU KAN DEMIAN!" Riana kembali berteriak, menaikkan beberapa oktafnya.

"DEMIANN!!!" Jerit Riana hingga ia terisak sendiri. Takut. Cuma itu yang Riana rasakan sekarang. Ruangan yang di tempatinya begitu tenang, sunyi dan hitam gelap.

"Nando.." tiba-tiba saja ia memanggil nama itu pelan. Riana memilih untuk duduk di atas lantai yang dingin. Tangannya sakit, pikirannya takut. Membuat dirinya ingin pulang kepelukan orang tuanya.

"Riana takut." Lirihnya sangat pelan, karna tenggelam oleh isakkan tangisnya.

Riana menunduk terisak.

***
Sedangkan di tempat lain, hati dan pikiran Rio kalang kabut. Mendengar isak tangis dan jerittan Riana yang sengaja di putar dengan speaker keras. Membuat satu ruangan besar ini mendengar jerit dan isakkan gadis itu.

"Apa maksud semua ini?!" Rio berhasil membanting kuat tubuh Demian, dan menekan kuat sarung tinjunya di leher pria dihadapannya.

"Aku bisa patahhin lehermu dengan tiga kali pukul. Jangan main-main De! DIMANA RIANA SEKARANG!!" Teriak Rio keras. Bagas yang sudah khawatir cukup tersentak. Rio yang menakutkan kembali hadir. Bahkan lebih menakutkan dari yang dikira.

Demian tersenyum sinis.

Tekanan tangan Rio cukup membuat dada pria itu sesak. Seolah oksigen yang ia hirup belum sampai pada paru-parunya.

"Selesaikan pertandingan ini. Nanti kamu juga bakal tau, entah kamu yang akan membawanya pulang sendiri, atau jiwamu saja yang hanya bisa melihatnya menangis."

"Brengsek!" Desis Rio dan menghujammi Demian dengan pukulan bertubi-tubi. Namun, sudah lebih dulu di tepis, hingga pria itu dapat memutar balikkan keadaan. Rio kini berada di bawahnya.

Mereka saling menukar pandangan tajam. Pandangan membunuh, dengan wajah yang babak belur hingga mengeluarkan darah yang kini sudah berhasil menghiasi wajah tampan keduanya.

"Kamu mau pertandingan ini cepat selesai, bukan?" Bisik Demian dengan suara yang tajam.

"Jelas kamu harus segera menyelesaikan ini semua. Asal kamu tau, gadismu sedang berada di sebuah ruangan isolasi. Sangat tertutup bahkan udara sekalipun tidak sanggup masuk ke dalamnya. Anak buahku hanya butuh waktu 10 menit untuk menyedot habis oksigen di dalam sana. Jadi? Semakin lama kamu mengulur waktu, semakin dekat juga ajal kalian berdua untuk berakhir."

"Dan satu lagi. Sayangnya, penyedottan oksigen sudah di lakukan satu menit yang lalu." Bisik Demian lebih pulang.

Rio sudah memperkirakan semuanya, setelah selesai dengan semua ucapannya. Tanpa pikir panjang Rio menghantam kuat kepalanya dengan kepala Demian. Masa bodoh jika kepalanya nanti akan pecah.

Dughh!

"Arghh!!" Erang Demian kesakitan, bahkan dirinya juga menahan sakit. Bisa ia lihat darah yang keluar karna hantaman keras yang ia perbuat dengan kepalanya.

Silent ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang