Duapuluh Empat

8.6K 523 3
                                    

"Ih , cantik banget" Puji Veren penuh kekaguman pada sebuah cincin berlapis emas putih polos yang terdapat permata kecil di atasnya .

"Kamu mau ?" Tawar Lian sambil merangkul bahu Veren.

"Gak deh , Itu 'kan mahal " Tolak Veren dengan berat hati . Karena dalam hati ia benar-benar menginginkan cincin itu . Tapi apa daya ? Dia tidak punya uang sebanyak itu untuk membelinya.  Dia hanyalah seorang mahasiswi semester awal yang uang jajan saja masih minta pada orang tua .

"Enggak apa-apa.  Aku janji , suatu saat nanti , setelah aku lulus kuliah , aku akan cari kerja dan beliin cincin itu buat kamu di hari pernikahan kita"  Kata Lian penuh keyakinan .

"Nikah ?"

Lian mengangguk meyakinkan ."Kamu mau kan , nikah sama aku suatu saat nanti ?" 

Rasa haru tak dapat disembunyikan Veren.  Malam itu dia benar-benar terharu sekaligus  bahagia .dengan mata yang berkaca-kaca,  tanpa ragu Veren memeluk Lian ditengah keramaian mall .

****

Aku terus berjalan dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti . Tatapan heran orang-orang yang melewatiku sepanjang trotoar pun tak luput, tapi aku tidak peduli , aku hanya ingin rasa sakit yang menguasai hatiku saat ini bisa pergi .

Ya Allah,  mengapa cinta harus ada luka?

Kadang aku merasa hidup ini tidak adil, disaat kita mencintai seseorang, seseorang itu justru mencintai orang lain. Namun di saat kita beruntung karena di cintai seseorang, kenapa justru orang itu bukan dia yang kita harapkan?

Astagfirullah hal'adzim, ya Allah.

Cukup jauh kakiku melangkah tanpa tujuan ,  tiba-tiba kaki ini merasakan lelah dan akhirnya terduduk di sebuah bangku Yang terdapat di pinggir trotoar . Disana kuluapkan semua sesak di dadaku dengan tangisan . Berharap sesak ini segera pergi .

"Ya Allah , Veren !" Aku menengadah saat seseorang menyebut namaku .Dengan wajah yang basah dengan air mata , aku melihat wajahnya . Wajah yang selalu kurindukan di setiap doaku .

"Kamu ngapain nangis di sini sendirian?" Tanyanya dengan raut khawatir yang terpancar di wajahnya.

"Akbar" Aku menyebut namanya dengan suara pelan .

"Ayo , kita pulang" Aku tidak membantah sama sekali saat Akbar menarik dan menuntunku untuk masuk ke dalam mobilnya .

***

Aku menggeliat saat bias cahaya masuk melalui celah jendela yang tirainya terbuka dan mengganggu tidurku.

"Tumben kamu bangunnya kesiangan ?" Itu suara mama yang mulai mendekat ke arah ranjangku.

Memoriku kembali berputar di kejadian tadi malam . Disaat aku menangis seperti orang bodoh di jalanan , dan disaat itu pahlawanku datang dan membawaku pergi .

Aku merutukki kebodohanku sendiri. Bagaimana bisa aku sebodoh itu menangis di jalanan ? ditatap aneh oleh orang-orang dan .... Akbar .

Ya Allah,  semoga Akbar tidak mengungkit apapun tentang peristiwa semalam . Bodoh .

Aku menggeleng kearah mama " Kecapean ma , banyak tugas di kampus" Dustaku sambil meregangkan otot-ototku Yang kaku. Aku memang lelah . Namun bukan fisik , melainkan hatiku . Hatiku yang seperti dipermainkan.

Bukan Fatimah Az-zahra(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang