Selamat membaca <3
___
Siswi berambut panjang itu baru saja keluar dari ruang Kepala Sekolah. Dia berjalan dengan kepala sedikit menunduk. Sebelah tangannya menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga, kemudian kembali sibuk merapikan posisi lembaran proposal di dalam sebuah map berwarna biru yang dia pegang. Langkah kaki membawanya menuju ruang Wakil Kepala Sekolah, tempat Pak Rahman, wakil kepala sekolah urusan kesiswaaan berada. Untuk sampai ke sana, dia harus melewati ruang Bimbingan Konseling (BK) yang pintunya terbuka.
"Kamu sudah berantem berapa kali?"
Langkah Agatha terhenti ketika mendengar suara Bu Hastuti, sang guru BK, dari dalam ruangan. Perlahan dia mengintip ke dalam ruangan dari balik pintu yang terbuka. Bu Hastuti sedang duduk di kursinya, melihat ke seorang siswa yang sosoknya segera dikenali Agatha.
"Saya tanya kamu, Ghali!" hardik Bu Hastuti. Dia kemudian menghela napas panjang. "Kalau saya tanya, kamu ya harus jawab, dong."
"Saya bukannya nggak mau jawab, tapi tadi lagi ngitung," jawab Ghali dengan santai. "Saya lupa, Bu. Nggak inget," lanjutnya.
Bu Hastuti mengembuskan napas. Wanita paruh baya itu menyandarkan punggungnya ke kursi dan memejamkan mata. Ghali kembali berkelahi dengan siswa kelas X, teman satu angkatannya sendiri. Bu Hastuti tidak tahu siapa yang memulai perkelahian dan bagaimana perkelahian itu bisa terjadi, karena siswa kelas X tersebut harus dibawa ke rumah sakit akibat kepalanya berdarah terbentur pinggiran meja di kelas. Sebelum pergi, siswa itu mengakui bahwa bukan Ghali yang menyebabkan kepalanya terluka. Namun, meskipun itu benar, Ghali tetap harus bertanggungjawab karena sudah berkelahi dengan siswa itu.
Agatha memandangi punggung Ghali. Pikirannya mencerna perkataan Bu Hastuti dan segera teringat dengan kehebohan yang sempat didengarnya tadi, tentang seorang siswa kelas X-8 yang dibawa ke rumah sakit. Dia juga mendengar tentang petugas kebersihan yang harus membersihkan darah yang tercecer di sepanjang lantai koridor kelas X-8.
Agatha mengernyit, bertanya-tanya dalam hati. "Itu sebabnya Ghali ada di ruang BK?"
"Ada perlu apa, Sayang?"
Agatha sedikit terkejut ketika mendengar suara Bu Hastuti, terlebih lagi saat Bu Hastuti menatapnya dengan kening berkerut. Agatha langsung menegakkan tubuhnya dan tersenyum kecil. Dia menoleh ke arah pintu ruang wakil kepala sekolah yang ada di sebelah ruang BK ini.
"Mau ke ruangannya Pak Rahman, Bu. Mau minta tanda tangan untuk proposal. Pak Rahmannya ada nggak ya, Bu?"
Mata Agatha melirik ke arah Ghali. Kepala cowok itu memutar, melihat ke belakang kepada Agatha. Untuk beberapa menit, mereka saling bertatapan, sebelum akhirnya Agatha mengalihkan perhatiannya lagi kepada Bu Hastuti.
"Pak Rahman nggak ada, Sayang. Tadi keluar, nggak tahu ke mana," kata Bu Hastuti.
Bahu Agatha terkulai. Kedua tangannya memeluk erat map biru di dadanya. Gue harus keliling sekolah buat cari Pak Rahman?
"Terima kasih Bu infonya," Agatha tersenyum kecil. "Kalau begitu saya permisi, Bu."
"Oh, coba kamu cari di Tata Usaha. Siapa tahu Pak Rahman ada di sana," kata Bu Hastuti sebelum Agatha berbalik. Agatha menanggapi dengan anggukan kepala. Matanya sekilas melihat ke Ghali yang sekarang sudah sepenuhnya kembali berdiri dengan melihat ke depan.
Agatha kembali berjalan sambil menunduk menuju ruang Tata Usaha. Dia masih memeluk map berisi proposal di dadanya. Kepalanya terasa berat memikirkan susahnya menemukan Pak Rahman untuk menandatangani proposal yang dibawa-bawanya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Years
Teen FictionTERBIT 📖 - [Spin-Off True Stalker] Selama berada di kelas X, Agatha hampir tak pernah bertegur sapa dengan seorang cowok yang duduk di bangku paling belakang kelasnya. Agatha tak pernah menyangka, karena sebuah insiden berlanjut dengan insiden lai...