***
Siang ini, Asyiah berencana pergi ke rumah Kak Farhatun, salah satu alumnus Universitas Lincoln, tiga tahun silam. Jaraknya cukup dekat, jalan kaki paling hanya sepuluh menit. Rumahnya ada di pinggir jalan raya, dekat masjid kecamatan. Kalau dari pesantren, tinggal lurus saja, kemudian belok kanan sekali saat di pertigaan.
Asyiah telah izin kepada Umi kalau dia hendak pergi. Untunglah, beliau memperbolehkan. Padahal, hari ini ada kegiatan cukup penting di pesantren, yakni hari jadi pondok. Tapi mau bagaimana lagi, Kak Farhatun jarang di rumah. Bahkan, untuk pertemuan ini saja sudah direncanakan jauh-jauh hari, sejak dua minggu lalu.
Asyiah berangkat ke sana tak ditemani siapapun. Dan setelah jalan kaki beberapa saat, akhirnya sampai juga. Sekarang, gadis berbulu mata lentik itu berada tepat di depan rumah Kak Farhatun. Dua tingkat bergaya minimalis. Ukuranya cukup besar. Cat didominasi warna cokelat dan kuning. Tampak pula, bunga anggrek berbagai warna dan pohon mangga menghiasi pekarangan. Suasana asri begitu kentara.
"Assalamu'alaikum...." Asyiah memijat bel sembari berdiri di balik pagar.
"Wa'alaikumussalam!" Terdengar sahutan dari dalam rumah. Sepertinya orang itu menjawab sambil berjalan menghampiri. Lima detik kemudian, pintu depan berwarna cokelat tua itu terbuka, memperlihatkan sosok perempuan yang ia cari, Kak Farhatun.
"Eh, Asyiah?! Sudah sampai rupanya. Mohon maaf, mohon maaf." tuturnya dengan ekspresi sedikit terkejut. Dia berjalan menghampiri pagar, lalu mempersilahkan cucu pemilik pesantren tersebut masuk.
"Ngobrolnya mau di luar atau di dalam?" tanya Kak Farhatun.
"Di luar saja, Kak, biar lebih santai."
"Oh, baik. Tapi, tunggu sebentar, ya, aku buat minum dulu buat."
Asyiah mengangguk.
"Eh, ngomong-ngomong mau minum apa? Teh? Kopi? Susu? Sirup? Jus?"
"Air putih saja," jawab Asyiah.
"Itu saja?"
Asyiah kembali memanggut. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu mengacungkan jempol dengan energik. Lalu, segera masuk. Sementara Asyiah langsung menjatuhkan badan di kursi.
Kak Farhatun orangnya sangat supel. Juga mandiri. Sejak kecil, dia tinggal bersama sang nenek yang kini telah tiada. Rumah yang saat ini disinggahi Asyiah merupakan hasil jerit payahnya. Dia juga mendapat beasiswa dari Universitas Lincoln, Inggris. Jurusan yang diambil Kak Farhatun sama dengan Asyiah, yakni Business and Enterprise Development BA. Setelah menyabet gelar sarjana, dia langsung bekerja di salah satu perusahaan swasta ternama.Kak Farhatun juga sosok yang salehah. Meski begitu, dia terkadang di pandang sebelah mata oleh masyarakat karena Ibunya seorang pelacur. Sementara Ayahnya dipenjara karena kasus pembunuhan.
Tak berselang lama, Kak Farhatun kembali dengan membawa gelas berisi air putih. Dia segera meletakannnya di atas meja. Kemudian, duduk.
"Kamu mau nanya-nanya soal kuliah, kan?" tanya Kak Farhatun membuka pembicaraan.
"Iya, Kak."
"Mm... boleh-boleh."
Asyiah tersenyum. "Jadi gini, Kak. Pengajuan beasiswa aku ke Universitas Lincoln alhamdulillah keterima. Sekarang, kan, bulan Juni dan aku mulai kuliah nanti bulan September. Aku mau nanya, hal-hal apa saja yang mesti dipersiapkan dari sekarang?"
"Subhanallah... sebelumnya selamat, ya, Asyiah, kamu memang hebat. Kakak udah yakin pasti kamu keterima." Wajah Kak Farhatun yang pembawaannya ramah tampak semakin semringah.
![](https://img.wattpad.com/cover/151154351-288-k903073.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Surga yang Terbakar
SpirituellesIstri Rasulullah SAW, Khadijah ra, menjadi teladan bagi Asyiah, terutama ketaatannya kepada agama dan juga karena beliau seorang saudagar wanita yang sukses. Asyiah berasal dari keluarga pengurus pesantren. Dia juga seorang pendakwah muda yang memil...