9 • Akordion, Biola dan Pelukis Misterius

537 39 1
                                    

Asyiah melipat mukena putih setelah salat Subuhnya selesai. Tak lupa, tadi dia juga telah membaca zikir pagi dan petang. Mengingat Allah sebanyak-banyaknya adalah suatu keharusan karena hati akan terasa tenang.

Sahar masih mendengkur pelan dengan balutan bed cover berwarna cokelat. Jam di dinding menunjukan pukul 05.36. Udara masih terasa menggigit tulang. Asyiah mengambil jaket parasut berwarna abu-abu dari lemari, kemudian segera dipakai. Tangannya berlanjut meraih biola pemberian Daud yang tergelatak di atas nakas. Asyiah lalu duduk di kursi yang terletak di sudut apartemen. Tempat yang cukup nyaman karena mempunyai dua jendela besar di kedua sisinya. Satu sisi menghadap ke area Universitas Lincoln, danau Bayford Poll serta sungai kecil dan jembatan dekat restoran Cina yang kemarin mereka kunjungi. Sisi lainnya menampilkan perumahan khas Britania Raya yang mayoritas dua lantai, bercat cokelat dan tak berbalkon. Juga toko-toko, bangkel besar, restoran dan gereja dengan arsitektur hampir serupa.

Dibukalah kotak kayu pembungkus biola itu, seulas senyum langsung merekah di kedua sudut bibir Asyiah. Biola itu lalu dikeluarkan, juga bilah penggeseknya. Alat musik itu disandarkan agak miring ke pundak. Kepala ditelengkan. Bilah penggesek ditempelkan ke atas senar, kemudian naik turun mengeluarkan suara merdu nan memesona. Jemari Asyiah gesit mengatur kunci ujung biola. Matanya terpejam, menghayati.

"Asyiaaah...! Pagi-pagi buta seperti kau sudah menciptakan kebisingan dan mengganggu mimpi indahku."

Omelan itu membuat Asyiah refleks menghentikan permainan biolanya. Dia menoleh ke belakang. Tampak di atas tempat tidur, Sahar menguap sembari menggeliat. Rambut lurus hitamnya acak-acakan. Matanya pun masih telihat mengangtuk.

Asyiah terkekeh. "Maafkan, Sister. Aku sudah tak sabar memainkan biola ini."

"Hmm... biola dari laki-laki yang sering kau ceritakan itu?" tanya Sahar dengan nada malas.

Asyiah tersenyum sembari mengangguk, mengiyakan. Namun dua detik kemudian, senyum itu perlahan memudar. Dia teringat sesuatu. Surat dari Daud! Bukankah kertas tersebut diberikan bersamaan dengan biola yang sekarang ia pegang? Dan surat itu belum ia baca. Seingatnya, benda itu disimpan di ransel. Namun ketika kemarin merapikan barang-barang, Asyiah tak melihatnya sama sekali.

Dia segera bangkit dan meletakan biola itu di atas meja belajar. Dengan tergesa-gesa, muslimah itu menghampiri lemari, nakas, koper dan ransel. Dibukanya satu-persatu, namun surat itu tetap tak ditemukan. Asyiah menghela napas, gusar. Pencarian dilakukan sekali. Hasilnya tetap sama. Nihil.

Sahar melirik kawan seapartemannya itu dengan dahinya terlipat. "Hei ada dengan kau ini, Asyiah! Baru tadi kau begitu asyik main biola dengan senyum mengembang yang justru mengangguku. Tapi sekarang, lihatlah! Kau seperti orang kehilangan."

Asyiah menoleh ke atas tempat tidur. Tatapnnya lesu. "Apakah kau melihat sebuah amplop berwarna putih saat kemarin kita membereskan barang-barang?"

"Amplop putih? Sebentar." Sahar menggigit bibir bagian bawah. Keningnya mengernyit. "Mm... sepertinya tidak. Aku tak melihat benda itu."

Asyiah menghembuskan napas gusar. Kepalanya refleks menyandar pada nakas dengan mimik tak bergairah.

"Memangnya amplop itu isinya apa? Uang?" lanjut Sahar sembari turun dari kasur.

Asyiah menggeleng. "Bukan, itu surat dari Daud sebelum aku ke bandara dan kau tahu, aku belum membacanya sama sekali."

Sahar tersenyum geli. "Ayolah, Asyiah! Ini zaman modern. Kau tinggal kirim surel atau pesan lewat media sosial. Tanyakan padanya apa isi surat itu. Mudah. Bereskan bukan masalahnya?"

"Aku takut dia kecewa." Asyiah kembali menghembuskan napas.

Sahar menggaruk bagian belakang kepala sembari meraih handuk dari gantungan dekat lemari. Dia menyeringai ke arah Asyiah. "Rasa takut dan khawatir merupakan tanda kau mencintai lelaki bernama Daud itu, Asyiah. Tapi, bukankah tadi malam kau juga menulis surat untuk si Tampan yang tak sengaja kita tabrak. Semestinya kau bingung memilih Daud atau si Tampan itu, daripada terus-terusan memikirkan surat yang hilang. Aku benar, bukan?"

Demi Surga yang TerbakarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang