6 • Teroris Paling Ceroboh

515 42 20
                                    

Setengah jam dalam metro seolah menjadi perekat hubungan Sahar dan Asyiah. Keduanya seperti kawan dekat yang telah kenal jauh-jauh hari. Mereka tersenyum dan tertawa kecil sepanjang perjalanan. Berbagai topik pembicaraan di angkat, mulai dari membayangkan renang di danau Bayford Pool saat musim panas hingga bagaimana kalau mereka mencintai dosen muda yang tampan.

Metro menderit, mengumumkan kalau tak lama lagi dirinya bakal berhenti. Para penumpang segera berkemas dan bersiap-siap turun. Asyiah tampak ringkih sekali. Tangan kanan memegang gagang koper. Punggungnya memikul ransel. Sementara biola pemberian Daud ia selipkan ke bahu kiri.

"Mari turun!" Sahar mengajak Asyiah sesudah metro agak lengang karena ditinggal penumpangnya.

Asyiah memanggut. Keduanya pun bergegas menuju pintu keluar. Suasana hikuk pikuk ala stasiun langsung menyambut pendengaran. Kereta api menjerit-jerit karena dipaksa terus bekerja. Suara manusia terdengar seperti kawanan lebah yang tengah membangun sarang, berdengung-dengung saking banyaknya. Satu dua penjual makanan dan minuman ringan menambah kebisingan. Bergeriliya menawarkan dagangan mereka di tengah kesibukan.

"Hallo, anak muda! Belilah minuman botol ini, dijamin kau akan merasa lebih segar setelah melakukan perjalanan," ucapnya kepada Sahar dan Asyiah yang tengah mengusap peluh di kursi stasiun bawah tanah King's Cross.

"Aku satu," timpal Sahar.

Penjual itu langsung tersenyum merekah, seperti menang judi sepuluh putaran. Buru-buru dia ambil minuman botol tersebut, lalu diberikan kepada Sahar.

"Terima kasih," ucap pria itu sembari menerima uang dari gadis tersebut.
Sahar mengangguk, tersenyum. Lalu menengok ke arah Asyiah yang tampak lesu, "Kau mau satu?" tanya perempuan Belanda itu.

Asyiah menoleh, menggeleng, "Aku sedang puasa."

"Eh?" Alis Sahar mengernyit. "Apa itu puasa?"

"Menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan lainnya, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari."

"Ooh... iya, aku tahu itu. Tapi, bukankah bulan suci untuk beribadah puasa itu baru selesai dua bulan yang lalu. Setahuku, hanya setahun sekali."

Asyiah tersenyum. "Aku sedang puasa sunah Senin-Kamis. Puasa yang dianjurkan."

"Begitu rupanya."

"Ya begitu. Eh, ayo kita ke stasiun King's Cross takut terlambat."

"Ayo!" sahut Sahar sembari beranjak. Mereka pun meninggalkan stasiun bawah tanah itu. Kemudian berjalan sekitar tiga menit dan tibalah mereka di stasiun King's Cross. Gaya bangunannya seperti yang ada di film Harry Potter. Besi-besi hitam melengkung dengan gaya Romawi yang khas. Agung sekaligus menawan. Hikuk pikuk di sini sama saja dengan yang sebelumnya. Bedanya, di sini kereta tampil agak kuno. Sahar dan Asyiah segera masuk setelah giliran mereka tiba. Sepanjang perjalanan dihabiskan keduanya dengan mengobrol dan berbagi kisah hidup. Asyik sekali.

Dua jam kemudian, keduanya mesti turun karena sudah di akhir rute. Mereka belum sampai. Ini baru di Retford. Selepas ini, perjalanan Sahar dan Asyiah dilanjutkan dengan naik bus di terminal Retford. Hanya butuh beberapa menit dengan jalan kaki untuk sampai di tempat tersebut.

Suasana khas terminal langsung terasa. Tak berbeda begitu jauh dengan yang ada di Indonesia. Matahari yang terasa membakar ubun-ubun, membuat fatamorgana di atas aspal dan seng atap terminal. Bus-bus berwarna merah dan hitam berteduh di bawahnya.

"Kita naik bus yang mana?" tanya Asyiah sembari menutupi wajahnya dari sinar matahari karena silau.

"Mm... kita tanyakan saja. Ayo!"

Demi Surga yang TerbakarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang