Tiga belas jam setengah mengangkasa, melewati samudera dan berbagai negara, burung besi raksasa yang ditumpangi Asyiah akhirnya mendarat juga di Bandara London Heathrow. Tepatnya pukul 08.30 GMT. Beberapa saat sebelumnya, terjadi sedikit masalah. Namun pilot dan awak mampu mengatasinya. Tampak berbagai maskapai memadati parkiran pesawat itu. Ada Emirate Airlines, Malaysia Airlines dan yang lainnya.
Pengeras suara di dalam pesawat mengoceh, menginformasikan bahwa pintu depan dan belakang segera dibuka, juga menyuruh agar para penumpang cepat-cepat berbenah. Setelah itu, orang berduyun-duyun turun. Asyiah berjalan merayap di belakang, sebelum akhirnya turun juga.
Suasana gaduh langsung menyambut. Pengeras suara yang ada di setiap sudut bandara lagi-lagi bercelotehan dalam bahasa Inggris. Ucapan syukur terlontar dari para penumpang. Terlihat orang-orang bule berkulit pucat dan rambut pirang mendominasi. Mereka sibuk menarik dan mendorong koper dengan berbagai cara. Juga para sanak famili yang mencium dan mendoakan kerabat mereka yang hendak berpergian. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa internasional itu sembari tertawa, adapula yang menangis.
Di bawah papan persegi panjang yamg menggantung dan bertuliskan Exit, orang-orang berbaris memanjang seperti ekor ikan pari. Mereka memeluk dokumen perjalanan alias paspor yang telah dicantumkan visa sebelumnya. Satu persatu dokumen itu dimasukan ke kaca berlubang yang siap dilayani para petugas. Ada yang berseru gembira karena selesai. Namun tak sedikit pula yang mesti ditahan karena ada kesalahan administrasi.
Setelah selesai, Asyiah segera bergegas ke terminal 4, rute pertama yang mesti ia tempuh untuk sampai di Universitas Lincoln. Hanya butuh semenit untuk sampai di sana. Sepanjang jalan, pada dinding sebelah kanan tampak gambar-gambar orang berbusana aneka bangsa seakan menyambut, dengan tulisan Welcome.Sementara sisi sebelah kiri yang dibatasi kaca raksasa menampilkan burung besi raksasa yang tengah berisirahat. Asyiah menarik koper dan ransel dengan perasaan setengah bahagia, setengah heran. Bahagia karena bersyukur bisa tiba dengan selamat dan tanpa kendala. Juga heran, kurang dari sehari dia berbincang-bincang menggunakan bahasa Indonesia dan Sunda, tertawa bersama Umi dan kawan-kawan. Namun kini, tak ada senyum, tak ada tawa. Orang-orang acuh tak acuh dengan kesibukan masing-masing. Ada yang berjalan sembari menelepon, bermain ponsel atau sekedar menatap ke depan layaknya pejabat eksekutif.
Tibalah Asyiah di stasiun bawah tanah St Pancass. Hikuk pikuk manusia tampak jelas di sana. Tadi, baru saja ada kereta yang menaikan penumpang, tepat ketika muslimah itu baru memasuki area stasiun. Dan lihatlah, macam predator yang menemukan mangsa, orang-orang itu berhamburan masuk. Berdesak-desakan. Tak peduli ada anak kecil atau lansia, yang terpenting mereka bisa tiba tepat waktu di tujuan masing-masing.
Setelah duduk menunggu sepuluh menit, kereta lain akhirnya datang. Dan seperti tadi, langsung menuai keramaian. Asyiah buru-buru masuk. Bahu dan kopernya sesekali tertubruk orang lain. Yang lain juga sama. Tapi, tak ada yang mengeluh satupun. Setelah beruntung bisa duduk di dekat jendela kereta dengan nyamannya, Asyiah menghela napas. Lega. Alhamdulilah, gumamnya penuh syukur.
Seorang pria muda duduk di kursi samping Asyiah. Dia mengenakan topi dan jaket hitam. Tangannya dimasukan ke dalam saku jaket tersebut. Sesekali bersiul. Lirik mata dan gerak-geriknya mengundang kecurigaan orang-orang di sekitarnya. Was-was dia bukan orang baik. Termasuk Asyiah, bukan berprasangka buruk secara mutlak. Namun hanya waspada.
Dipeluknya koper dan ransel erat-erat sembari bergeser menjauhi pria mencurigakan tersebut.
Sementara yang kurang hoki, terpaksa berdiri sembari menggenggam pegangan. Pegal pun tak dikeluhkan. Mau bagaimana lagi, pikir mereka.
Perjalanan ini akan berhenti di Stasiun King's Cross dan memerlukan waktu sekitar dua jam kurang. Asyiah mengeluarkan Al-Quran, kemudian membacanya dengan suara pelan namun tetap khusyuk. Orang yang duduk di depannya langsung menyembulkan kepala dari balik punggung kursi untuk melihat asal suara itu. Orang tersebut mengerlingkan mata seraya mengangguk pongah. Tipikal 'penderita' islamphobia. Sementara yang lain hanya melirik sekilas. Ada juga yang memandang lamat-lamat, namun tak seperti si 'penderita' tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Surga yang Terbakar
EspiritualIstri Rasulullah SAW, Khadijah ra, menjadi teladan bagi Asyiah, terutama ketaatannya kepada agama dan juga karena beliau seorang saudagar wanita yang sukses. Asyiah berasal dari keluarga pengurus pesantren. Dia juga seorang pendakwah muda yang memil...