4 • Surat Dari Daud

567 51 3
                                    

Dua bulan kemudian, saat yang dinanti-nanti Asyiah akhirnya tiba juga. Pagi ini, dia akan berangkat ke bandara. Hampir semua keperluan untuk kuliah sudah siap. Akomodasi di kota Lincoln telah dipesan jauh-jauh hari. Seperti saran Kak Farhatun, Asyiah bakal tinggal di Stundent Village selama empat tahun menimba ilmu di sana. Peralatan kampus mulai dari pulpen sampai peralatan penunjang jurusan telah tersimpan rapi.

"Asyiah, buku ini mau kamu bawa ke Inggris?" tanya Umi yang sedang mengemas koper di atas tempat tidur.

Asyiah yang tengah mempersipakan makanan yang hendak dia dibawa langsung menoleh. Buku bersampul kulit sapi yang di angkat Umi membuatnya tersenyum. Dia beranjak berdiri, kemudian melangkah menghampiri wanita tersebut.

"Ini, kan, buku kisah Nabi Khidir dan Malaikat Rafael pemberian almarhumah nenek dari Tasik. Kata nenek ini juga pemberian kakeknya waktu dulu. Penuh nasihat, Umi," tutur Asyiah sembari duduk di dekat wanita itu.

Umi terkekeh. "Tapi ini tebal dan berat sekali, Asyiah. Terlihat kuno pula. Sampulnya saja seperti kulit sapi yang suka dipakai bedug masjid. Kertasnya juga udah kuning kecokelat-cokelatan. Nanti kamu disangka mau sekolah sihir kayak Harry Potter, lho!"

Asyiah tertawa sambil melirik pintu. "Umi... sihir itu haram. Nanti kalau ada Abi dan Akang, kita bisa diceramahi panjang lebar. Belum lagi kalau buku ini dirampas dan dibakar. Biola pemberian almarhumah nenek saja dibanting."

Mereka berdua langsung tergelak geli.
"Dua laki-laki itu memang susah kalau diberi penjelasan. Maunya menang sendiri," timpal Umi. Asyiah mengangguk, mengiyakan.

"Eh, masakan Umi sama Bi Anah sudah kamu masukin ke wadah. Mau dibawa ke sana, kan?" tanya Umi setelah senyap beberapa saat.

"Itu lagi dimasukin, Umi." Asyiah menjawab sambil menunjuk ke arah wadah makanan yang ada di atas meja belajar. Umi ikut menoleh, kemudian tersenyum.

"Asyiah pasti bakal rindu sekali sama masakan Umi," ucapnya sembari menghela napas. Lirih.
"Masakannya saja, nih, Uminya tidak?"

Asyiah langsung menatap wanita itu dengan raut sedih. Seluas senyum dipaksa menyungging di kedua sudutnya bibirnya, "Ya, enggaklah, Umi. Memangnya siapa lagi orang yang dicintai anak ini setelah Allah dan Nabi Muhammad?"

Hati kecil Asyiah terasa sakit karena akan berpisah. Sebutir air bening menggelayut di pelupuk matanya. Lalu, menggelinding di atas pipi. Asyiah terisak. Jemarinya segera menyeka air mata itu.

"Umi boleh meluk kamu sebelum kamu benar-benar meninggalkan wanita ini sendiri?"

Asyiah mengangguk. Wanita itu langsung merangkul anak perempuannya. Air mata tak bisa ditahannya lagi. Dia mengelus-ngelus punggung Asyiah dengan penuh kasih sayang. "Umi juga pasti bakal merindukanmu. Teramat sangat malah. Kamu adalah anak yang dikirim Allah untuk wanita ini. Anak yang selalu mengajak wanita ini kepada jalan yang ridai Allah. Anak yang pantang menyerah, mandiri dan selalu berpikiran maju. Kau memang benar-benar sudah meneladani Khadijah, sosok yang selalu kau banggakan, istri Rasulullah yang juga wanita suadagar salehah. Semoga Allah selalu meridaimu, Nak."

Asyiah kian terisak. Batinnya terenyuh. Bukan sakit seperti ketika dibentak Abi, tapi sakitnya seorang anak yang akan terpisah dengan Ibunya, dengan orang yang paling dekat dengannya sebelum siapapun.

"Asyiah pasti akan merasa kehilangan. Anak ini akan jauh dari orang yang selalu mengertinya. Yang selalu siap menjadi benteng pelindung agar anak ini tak tersakiti hati dan fisiknya. Yang setiap kesusahan dalam mengurus anak ini bukan apa-apa baginya. Dan siapa yang rela memberikan hal seperti itu selain Umi? Separuh hidup anak ini adalah Umi. Anak ini tak bisa terlepas dari anggota tubuhnya. Kalau pun bisa rasanya sangat sakit."

Demi Surga yang TerbakarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang