1 • Setengah Rida Allah

1.6K 103 58
                                    

Di kaki bukti Mayana, kabut perlahan tersibak siraman cahaya matahari. Udara pagi yang sebelumnya terasa menggigit tulang pun kian menghangat. Sisa hujan semalam menyajikan bau tanah yang menguar segar. Burung gereja dan burung murai seakan tak mau ketinggalan menyambut kegembiraan pagi ini. Mereka asyik bercicit sahut menyahut di balik gulma.

Lantunan ayat-ayat Tuhan dan selawat kepada Sang Nabi menggema dari masjid Pondok Pesantren Al-Ummah. Para santri memadati tempat ibadah tersebut. Beberapa lagi hilir mudik menyiapkan sarapan.

Terlihat, seorang wanita setengah baya berlari tergesa-gesa dari gapura. Wajahnya tampak senang bukan main. Tentu saja karea ada berita gembira yang hendak ia sampaikan kepada seseorang. Beberapa santriwan-santriwati menyapa wanita tersebut. Dia membalasnya dengan senyuman sekilas sembari terus melangkah cepat. Dinaikinya tangga kobong puteri hingga ke lantai tiga. Kobong yang posisinya paling dekat dengan tangga adalah tempat yang ia tuju. Wanita itu pun berhenti dengan napas tersengal-sengal. Tangan kanannya mencoba menopang tubuh dengan menyandar pada tembok. Rehat sejenak.

Akan tetapi, tak mau informasi menggembirakan tersebut ditunda-tunda, wanita itu pun menyudahi istirahatnya. Dia segera mengetuk pintu kobong. "Assalamu'alaikum... assalamu'alaikum, Neng Asyiah!"

Tak kurang dari lima detik, pintu kobong perlahan terbuka.

"Wa'alaikmussalam," sahut seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang membuka pintu. Kulitnya putih bersih, bulu matanya lentik dan tentu berjilbab. "Eh, Bi Anah?! Ada apa, Bi?"

"Anu, Neng Asyiah, itu! Di sana, di gapura, ada tukang pos yang ngirim LOAK dari Universitas. Nama universitasnya itu, Ling... Ling...," Bi Anah menuturkan dengan terbata. Dia lupa-lupa ingat ucapan tukang pos tadi, soalnya pakai bahasa asing.

"LOAK?" Asyiah mengernyit. Bingung. "Oooh... maksud Bibi, LoA--Letter of Acceptance--dari Universitas Lincoln, Inggris?"

"Nah, iya, Neng. Itu yang Bibi maksud."

Asyiah tersenyum merekah. Matanya berbinar. Dia begitu berseri-seri. Ucapan hamdalah sayup-sayup terdengar. Muslimah itu berada dalam kondisi percaya tidak percaya. Ragu, apakah dirinya saat ini tidak sedang bermimpi? Apakah telinganya tak salah dengar? Beasiswa yang diajukannya tahun lalu diterima! Semoga saja semua memang benar adanya. Tak mungkin, bukan, Bi Anah berbohong dalam hal seserius ini? Itu akan menjadi hal yang sangat konyol.

"Kalau begitu, Asyih ingin segera ke tukang pos itu!"

"Ayo, kalau begitu, mah. "

Mereka pun bergegas menuju gapura. Meski pernapasannya masih terasa sesak, wanita yang sudah tak muda lagi itu tetap terlihat bersemangat.

Asyiah merupakan cucu dan putri pemilik Pondok Pesantren Al-Ummah. Walau begitu, hal tersebut tak membuatnya besar kepala. Dia jutsru lebih memilih tinggal di kobong bersama santriwati yang lain. Ingin ala hidup pesantren yang sesungguhnya. Mandiri.

Setelah hampir sampai di tempat yang dituju, tampak seorang lelaki berjaket warna jingga tengah berdiri di samping gapura. Motor dan kotak berisi berbagai barang yang mesti kirim juga memiliki warna serupa. Melihat orang yang mereka tuju sudah dekat, Asyiah dan Bi Inah pun semakin mempercepat langkah, berjalan penuh antusias.

"Maaf, Pak Pos, ini orang yang punya kiriman tadi." Bi Anah memberitahu seraya melirik muslimah tersebut. Yang dilirik tersenyum simpul.

Tukang Pos menyuruh menunggu sebentar. Keduanya memanggut. Patuh. Dia akhirnya menyerahkan LOA alias surat penerimaan tersebut kepada Asyiah. Dengan tangan dan kaki bergementar, muslimah itu segera menerimanya. Dia tersenyum lebar sekali setelah menatap lamat-lamar kertas tersebut.

Demi Surga yang TerbakarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang