7 • Wanita Depresi

523 42 0
                                    

Bus yang ditumpangi Asyiah dan Sahar akhirnya tiba juga di kota Lincoln. Muslimah itu mengucap tahmid. Sementara sahabatnya berseru tak sabar ingin cepat-cepat turun. Para penumpang berbondong-bondong turun. Dua gadis yang baru berkenalan itu segera berkemas, bersiap-siap. Namun sengaja dilambankan karena pintu keluar bus masih disesaki orang-orang yang berlomba ingin turun paling cepat
"Argh, aku harus berjalan seperti orang pincang." Sahar menggerutu sembari berjalan dengan satu sepatu. Semua ini karena tiga bedebah tadi. Sepatu yang dijadikan granat pasif itu diambil oleh mereka. Dengan gaya meledek di samping jalan, dibelahnya sepatu itu menggunakan pisau, lalu dilempar begitu saja.

"Maafkan aku, Sahar, semua ini salahku." Asyiah menghentikan langkah. Menghela napas. Kepalanya tertunduk. Dia merasa bodoh.

Sahar yang sibuk mencerocos sembari terus berjalan langsung diam, lalu menengok ke arah kawan barunya yang tertinggal beberapa langkah. "Hei! Jangan lebay, lah!"

Asyiah terkejut mendengar ucapan tersebut. Dia pun menatap Sahar dengan dahi mengerut.

Gadis asal Belanda itu berjalan seperti orang pincang menghampiri Asyiah. Sahar menepuk pundaknya. "Karena kau sudah menjadi kawanku, maka sudah menjadi kewajibanku untuk melindungimu. Lagipula, bedebah itu sembarangan menyebut kita teroris. Kalau tidak ada hukum di dunia ini, sudah patahkan leher mereka."

Asyiah tersenyum. Inotasi bicara Sahar memang tak seperti wanita pada umumnya, lebih berani dan kuat. Namun, dia tetap menunjukan keperempuaannya dengan mengenakan pakaian sesuai gender. Juga senyum yang sesekali menghias wajahnya.

"Ayo cepat! Nanti kita bisa diajak keliling lagi oleh sopir itu kalau terlambat turun."
Asyiah memanggut. Mereka pun bergegas menuju pintu keluar. Sopir bus tersebut telah mengeluarkan barang-barang keduanya dari bagasi. Ongkos sudah dibayar tadi.

"Kita dari sini ke penginapan dekat kampus naik apa?" Sahar bertanya sembari mengelap peluh di dahi.

"Mm... taksi online, mungkin?" usul Asyiah.

"Brilian!" Sahar berseru. Dia mengeluarkan ponsel, kemudian memesan taksi. "Sudah," ujarnya sembari menatap Asyiah. Muslimah itu memanggut. Mereka berdiri menunggu di trotoar dekat terminal.

Tak kurang dari tiga menit, sebuah sedan berwarna putih berhenti di depan mereka. Seorang pria paruh baya turun dari sana, matanya melihat-lihat ponsel. Dia kemudian mendongak sembari menatap ke sekeliling, mencari seseorang.

"Itu pasti sopirnya, Asyiah!" Tanpa ba-bi-bu, Sahar segera menarik tangan pedakwah muda itu dengan antusias. Yang ditarik hanya pasrah saja.

"Paman sopir?" tanya Sahar memastikan, setelah melihat ponsel.

Pria paruh baya itu menoleh ke arah mereka. Beberapa saat terdiam, menatap lamat-lamat wajah keduanya, "Apa kalian yang memesan taksiku?"

Sahar dan Asyiah memanggut.

"Waaah... syukurlah!" Wajah pria itu menjadi semeringah. "Kalau begitu, ayo segera naik! Dan barang bawaan kalian biar saya yang masukan ke bagasi."

"Terima kasih."

Mereka langsung membuka pintu mobil tersebut, kemudian duduk di jok kedua. Aroma pengharum menguar segar bersamaan dengan senyuknya AC. Radio yang ada di dekat kemudi menyenandungkan lagu ala Eropa versi lawas. Suasana yang tenang dan mengasyikan.

Sepanjang perjalanan menuju Bayford Pool--lokasi kampus, mereka berbincang berbagai hal. Sesekali tertawa dengan lelucon sederhana. Sahar cenderung mendominasi pembicaraan. Sekali bercerita, bisa berabad-abad lamanya. Anggota tubuhnya refleks bergerak mengikuti topik pembicaraan. Asyiah terkekeh menyaksikan gelagat gadis asal Belanda tersebut.

Demi Surga yang TerbakarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang