8 • Pemabuk dan Bedebah

481 44 0
                                    

Gabriella telah pergi sejam yang lalu. Kini, Sahar tengah duduk di depan televisi sembari asyik memainkan ponsel. Menjelalah Instagram untuk mencari tren barang terbaru. Dia sangat suka belanja.

Sementara Asyiah tampak mengenakan mukena putih. Duduk tasyahud akhir dengan khusyuk. Telunjuknya perlahan terangkat. Beberapa saat kemudian, dia menoleh ke kanan dan ke kiri sembari mengucap salam. Lalu mengusap wajah. Sepuluh menit setelahnya digunakan untuk berdoa, memohon kepada Allah agar mendapat rida-Nya, juga kasih sayang untuk orang tua, keluarga besar dan seluruh umat Islam di mana pun dan kapan pun. Salat Isya akhirnya selesai.

Dibukanya mukena, dilipat bersama sajadah, lalu disimpan di rak kecil.
Mendengar suara dari arah belakang, Sahar langsung menoleh. "Ibadahnya sudah selesai?'

"Alhamdulilah," Asyiah menjawab sambil berjalan menghampiri, kemudian duduk di sebelahnya.

Dahi Sahar terlipat. "Apa itu alhamdulilah?"

"Ucapan syukur yang berasal dari bahasa Arab, artinya segala puji bagi Allah."

Dia memanggut-manggut.

"Omong-omong, kenapa kau mesti beribadah?" lanjutnya. Raut Asyiah langsung berubah terkejut. Sahar yang melihat itu langsung tak enak hati. "Eh, maaf, aku tidak bermaksud menyinggung. Serius!" tuturnya sembari mengangkat tangan, menampilkan jari tengah dan jari telunjuk yang direnggangkan.

Asyiah tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku mengerti."

Sahar langsung menghembuskan napas lega.

"Untuk pertanyaan kau tadi, kenapa aku bahkan kita mesti beribadah, jawabannya karena itu adalah tugas pokok manusia selama hidup. Tuhan yang memerintahkan hal tersebut, tidak terpengaruh sekecil apapun, baik kita mau mengerjakan ataupun tidak. Dia Mahakaya, Mahamulia. Namun, tugas pokok tersebut tetap berasaskan hukum, prinsip sebab-akibat."

Kening Sahar lagi-lagi mengerut. Bingung. Namun saat dia hendak bertanya kembali, pintu apartemen terdengar diketuk disertai ucapan permisi. Suara orang itu seperti sudah tak asing di telinga keduanya. Mereka pun segera bergegas ke sana. Benar saja, ketika pintu dibuka, orang yang tengah berdiri adalah orang yang sejam lalu datang.

"Eh, Gabriella?!" Sahar dan Asyiah berseru serempak. Yang disebut namanya tersenyum.

"Ada apa? Apa ada masalah dengan ibumu, Madam Marion?" lanjut Sahar.

Gabriella menggeleng. Dia mengangkat tangan sambil menggoyang-goyangkan kunci mobil. "Ibuku baik-baik saja. Justru kedatanganku kemari hendak meminta maaf atas nama ibu. Aku akan mengajak kalian berkeliling kota Lincoln malam ini. Kalian tahu, itu sangat memesona.

"Aku tahu hari ini kalian baru sampai dan pasti sangat lelah. Tapi, aku mohon dengan sangat kepada kalian.... Besok kami akan kembali ke London, entah sementara atau selamanya. Oleh karena itu, bisa jadi hari ini adalah pertemuan terakhir kita. Kalian mengerti, kan?"

Sahar dan Asyiah saling lempar pandangan, saling berpendapat dengan bahasa tubuh. Karena iba dan kesungguh-sungguhan Gabriella, akhirnya mereka mengiyakan. Gadis berambut pirang sebahu itu senang bukan main.

Apartemen mereka segera dikunci. Asyiah dan Sahar hanya membawa tas kecil dan ponsel saja. Mereka bertiga bergegas turun ke lantai dasar. Kemudian, ke parkiran dan masuk ke mobil sedan berwarna hitam.

Sembari menyetir, Gabriella memberitahu kalau ibunya telah tertidur karena kelelahan. Asyiah dan Sahar yang duduk di jok belakang mengangguk-angguk, sesekali menjawab untuk menghormatinya. Aroma bunga buganvil dari pengharum menguar ke setiap sudut mobil, membuat suasana terasa nyaman. Namun, AC menjadikan udara semakin menggigit tulang di malam penghujung musim panas ini.

Demi Surga yang TerbakarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang