Part 9_Kembali Lagi

90 9 0
                                    

_Kembali Lagi ....

-oOo-

Boneka terjatuh ke lantai setelah menciptakan luka di lengan Stanley. Darah terus menetes keluar dan mengenai lantai. Stanley menggenggam lengan kirinya dengan sekuat tenaga untuk membantu menghentikan peredaran darah yang terus merembes keluar dan juga untuk meminimalisir rasa yang amat sakit. Pemuda itu langsung menatap tajam Edward dengan tatapan penuh emosi. Ia pun berteriak, "Dasar pembunuh! Kau mau membunuhku dengan kapak itu?!"

Seluruh pasang mata tertuju pada Edward. Meskipun tak dapat mengelak, tapi ia harus tetap membela diri. "Ini tidak akan terjadi jika kalian tidak terus-terusan melempar boneka itu."

Salah satu siswa pun angkat bicara, "Kenapa kau membawa kapak asli ke sekolah? Kami pikir itu hanya mainan."

Edward ingin membantah ucapan siswa itu kalau ia sama sekali tak membawa boneka beserta kapaknya. Namun, siapa yang akan percaya dengan alasan yang tidak masuk akal itu? Edward memilih diam. Mau bagaimanapun juga ia tetap dianggap bersalah dalam hal ini.

Tubuh Stanley yang mulai melemah langsung diusung anak PMR menggunakan tandu yang baru saja diambil dari UKS.  Lirikan netra kebencian dari Stanley makin kental ketika ia diusung keluar dari kelas.

Semenjak Edward tak memberikan jawaban apa pun lagi dari tiap tugas dan ujian yang diberikan, Stanley makin membenci Edward. Namun, setidaknya ia telah tahu kalau Stanley baik hanya karena ingin memanfaatkan Edward saja.

Edward mendekati boneka yang tergeletak di lantai. Ia mengambilnya lalu memasukkan boneka itu ke dalam tas kembali. Kemudian pemuda bertubuh pendek itu mengepel lantai yang dipenuhi oleh bercak darah Stanley. Selama mengepel, bisikan pelan suara teman-teman kelas terdengar bagaikan pisau belati yang menusuk-nusuk telinga. Tuduhan yang sudah meredup kini kembali terasah.

"Ternyata dia memang pembunuh."

"Hati-hati dengan orang itu, jangan sampai kita jadi korban juga."

"Lebih baik jauhi dia saja."

Edward berusaha menabahkan hati. Wajah tertunduk, ia tak ingin melihat tatapan sinis teman-temannya. Sendiri, itu lebih baik dibandingkan harus mendengar fitnah mereka.

Selepas mengepel, Edward berjalan ke belakang kelas seorang diri. Ia duduk dengan wajah menunduk. Pikirannya terus beradu memikirkan masalah pembunuhan itu. Ia tak terima dikatakan sebagai pembunuh, ia juga tak tahu mengapa boneka itu berada di dalam tas. Tak akan ada yang percaya omongannya, kecuali ia bisa membuktikannya sendiri. Pulang sekolah nanti, Edward bertekad memikirkan cara untuk mengungkap sosok pembunuh Jennifer.

Bel masuk telah berbunyi, seluruh siswa menghentikan aktivitas lalu berbondong-bondong masuk ke kelas masing-masing. Termasuk Edward, ia juga telah duduk di kursi bersama dengan Harold.  Tampaknya Harold belum bisa memercayai Edward. Saat insiden tadi pun ia hanya terdiam, sama sekali tak membela Edward. Mungkin karena ia tak tahu dengan kejadian yang sebenarnya. Pikiran Harold pun pasti akan sama dengan teman-temannya.

Saat guru matematika masuk dan memulai pelajaran, suara seseorang yang berbicara dari mic kantor membuat seluruh kelas menjadi hening. Mereka mendengar dengan saksama pengumuman yang disampaikan oleh salah satu guru di kantor.

"Disampaikan kepada siswa yang bernama Edward Samuel Alvaro agar ke Ruang BK sekarang juga, terima kasih."

Edward tertegun mendengar namanya disebut oleh Pak Andres. Ia yakin hal ini ada hubungannya dengan kecelakaan yang terjadi pada Stanley.

'Hasutan apa lagi yang Stanley buat?'

Edward pun pasrah. Ia berdiri  menghampiri guru matematika untuk meminta izin tidak mengikuti pelajarannya hari ini. Edward yakin akan lama di ruangan itu karena Pak Andres pasti akan mengajukan banyak pertanyaan padanya.

Pemuda berambut kuning tersebut keluar dari kelas lalu berjalan menuju kantor. Di saat tubuhnya sudah berada di depan pintu ruangan Pak Andres, jantung langsung berdegup kencang. Ia tak tahu laporan apa yang dibuat Stanley, biasanya ketua jurnalis itu suka menambahkan bumbu penyedap untuk membuat laporannya terkesan cukup serius. Pemuda berkacamata itu sangat pandai menyusun kata-kata. Makanya ia berhasil memimpin organisasi jurnalistik sekolah.

Edward menghirup napas panjang lalu mengembuskannya. Setelah hati cukup tenang, ia pun mengetuk pintu ruangan yang bertuliskan 'Counseling Room'.

Suara bariton Pak Andres terdengar meredam dari dalam ruangan. "Masuk."

Edward menarik turun gagang pintu berwarna silver tersebut.  Ia menatap seisi ruangan, tak ada tanda-tanda keberadaan Stanley di sana.

"Duduk," perintah Pak Andres dengan suara pelan, tapi tegas.

Edward mengangguk lalu duduk di sebuah kursi aluminium depan meja Pak Andres. Edward menatap wajah pria berkumis itu menunggunya melontarkan interogasi. Namun, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.  Pak Andres hanya menatap mata Edward tanpa henti.

Setelah cukup lama menunggu dan tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir guru itu, Edward memberanikan diri bertanya lebih dulu, meskipun sedikit ragu, "A-ada apa ya, Pak?"

Namun, Pak Andres masih saja terdiam menatap netra biru Edward, tapi kali ini lebih tajam. Pemuda yang paling tak suka ditatap seperti itu langsung menunduk.

Pak Andres menyodorkan buku tata tertib siswa di atas meja. Ia pun berkata, "Baca itu."

Edward melirik wajah Pak Andres sesaat sebelum menarik buku tersebut lalu membuka lembaran pertama. Edward sama sekali tak membaca satu kata pun dari buku itu selain hanya menatap kosong lembarannya. Untuk apa ia membacanya lagi jika sebelumnya sudah membaca seisi buku itu.

"Aku menyuruhmu untuk membacanya, bukan melihatnya saja."

Edward masih menunduk, ia berkata, "Aku sudah pernah membaca seluruh aturan yang tertera di buku ini, Pak."

"Mungkin kau melewatkan sesuatu, baca lagi tentang aturan larangan membawa benda tajam," ucap Pak Andres.

Sekarang Edward paham masalah yang dilaporkan oleh Stanley. Otaknya memang sangat pandai untuk hal-hal seperti ini.

Edward mencoba untuk angkat bicara demi membela diri. "Tapi, Pak ...."

Belum sempat Edward melanjutkan perkataannya, terdengar suara riuh dari luar ruangan. Tampaknya para siswa sedang berbondong-bondong menuju suatu tempat. Lantaran penasaran, Pak Andres dan Edward langsung keluar dari ruangan untuk menanyakan apa yang baru saja terjadi.

"Stanley, perutnya tertusuk pisau. Katanya dia mau dibawa ke rumah sakit karena keadaannya koma."

Kalimat itu terdengar mengejutkan sekaligus aneh. Apa yang terjadi? Siapa yang menusuk Stanley di UKS?

Edward dan Pak Andres pun sontak ikut berlari menuju ruangan Stanley dirawat. Saat sampai di tempat, seluruh pasang mata tertuju pada Edward.  Pemuda bertubuh kecil itu mulai merasa bahwa mereka semua akan menuduhnya sebagai pelaku insiden ini lagi.

"Lihat, pisau yang dicabut perawat itu adalah pisau boneka Edward. Aku melihat pisau itu di kelas pagi tadi."

Edward terperangah melihat pisau tersebut, memang benar pisau itu adalah milik boneka Samrick. Tapi, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?

'Lalu, di mana boneka itu?'

Mata Edward terpaku ketika perawat menyibak selimut Stanley, sebuah boneka sedang berbaring santai di  dekatnya. Sontak seluruh siswa menoleh ke arah Edward karena mereka tahu boneka itu milik siapa. Kebanyakan siswa yang ada dalam ruangan berasal dari kelas yang sama dengan Edward.

-oOo-

The Dark Side of the Doll (Sisi Gelap Boneka)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang