Bab 5

95 24 1
                                    

Pagi ini aku melihat mading sekolah di penuhi murid yang berebut membaca berita dimading, aku menatapnya denagan malas, karena tidak tertarik dengan berita apapun yang di tempel di mading, aku hanya berjalan santai dengan headset di telingaku, tanpa menoleh ke sekitarku. Sesampainya dikelas, aku melihat Rani dan temannya berpelukan sambil mengalirkan air mata (dramatis sekali). Hei, tapi tunggu. 1..2..3..hanya 3? Kemana yang satu?.

"Tiana! Hei! Cepat kemari!" teriak Brista dari bangku belakang.

Brista adalah salah satu dari daftar yang kusebut teman disekolah, sebetulnya aku masih memiliki satu teman yang teramat baik, tapi dia sedang berlibur ke luar negeri. Aneh memang berlibur di hari sekolah, tapi begitulah adanya. Brista dia temanku yang bisa ku bilang tidak bermuka dua, dia sangat baik dan polos karna itu aku mau berteman dengannya.

"Ada apa Brista?" tanyaku, lalu duduk di kursi.

"Kau tau, Vilona? anggota geng Rani, dia ditemukan meninggal di rumahnya dengan kondisi mengenaskan" ucapnya berbisik.

"Ooh ya? Bagaimana bisa? Apa semua orang tau tentang kabar ini?" kataku seraya mengeluarkan buku kosong, lalu mulai menggambar.

"Ya semua orang tau, berita ini ada dimading sekolah aku mengangguk mengerti Kau tau? Kondisinya mayat Vilona sangat mengenaskan, bola matanya keluar, lehernya hampir putus, lidahnya terpotong, bibirnya robek, gigi nya hancur, isi perutnya pun keluar, tapi anehnya semua kuku jarinya tidak ditemukan." cerita Brista masih berbisik.

Aku memberhentikan kegiatan menggambarku lalu menoleh kearah Brista" lalu bagaimana dengan pelakunya?"

"Pelakunya belum ditemukan, kata polisi pelakunya sangat cerdik, dia tidak meninggalkan sedikitpun bukti".

"Baiklah, kita doakan saja semoga Vilona tenang.." kataku dan Brista mengangguk sedu.

"Dineraka.." lanjutku dalam hati.

"Hei, tapi bagaimana kau tau semua itu?" tanyaku heran

"Kau lupa? Aku ini satu komplek dengan Vilona, ibuku yang memberitahu ini kepada ku. Jangan beritahu yang lain, karena sebenarnya keluarga Vilona menyembunyikan kondisi kematian anaknya" ucapnya takut-takut.

"Iyaiya kau tenang saja Brista" kataku tersenyum

"Kenapa kau menggambar bola mata yang tertusuk pisau? Sejak kapan kau menggambarnya?" Brista bertanya setelah melihat gambarku yang sudah ku buat semalam, sembari menunggu Vino pulang.

"Oh ini..aku.." aku gugup.

"Sudah lah, aku tau" Brista tersenyum.

"Tau? Tau apa?" kataku panik.

"Dari dulu kau memang selalu menggambar sesuatu yang beda dari kebanyakan orang".

"i..iy..iyaa". Jawabku gugup seraya menggaruk tengkuk.

Brista tersenyum lalu mengambil handphonenya dan memainkannya. Aku pun bernafas lega, namun otakku masih terus berfikir tentang ini semua.

"Siapa yang membunuh Vilona? Sepertinya bukan aku saja yang mengincar mereka. Aku harus cari tau tentang ini, jika tidak semua mangsaku akan merasa mati konyol dengan kehilangan kuku jari, setidaknya kehilangan isi perut itu jauh lebih baik." batinku.

🔪🔪🔪

Malam yang dingin ini aku berjalan kaki untuk mencari udara segar. Pikiranku masih sama seperti sebelum-sebelumnya, tentang siapa pembunuh Vilona. Hufft.

"Hei, Tiana kau kah itu?!" teriak seseorang tak jauh berada didepanku.

"Oh..Brista, aku fikir siapa" ucapku setalah melihatnya dengan jelas.

"Sedang apa kau disini? Sendiri?" tanyanya.

"Yaa..mencari udara segar saja. Kau darimana?" aku menatapnya dengan alis yang kuangkat.

"Aku habis dari minimarket. Umm..ayo kita beli coklat panas, aku traktir" ucapnya dengan senyuman lalu menarik tanganku.

Aku dan Brista berjalan membeli coklat panas, setelah mendapatkannya kami duduk ditaman sambil berbincang sedikit.

"Hei Tiana, rumahmu dari sini kan jauh. Apa kau sudah gila berjalan sejauh ini?" katanya bingung.

"Iya..aku juga tidak sadar kalau aku berjalan sudah sejauh ini" aku tertawa "hei, Ini sudah malam kau tidak pulang?" ucapku seraya meminum coklat panas, dia hanya tersenyum menatapku.

"Tiana, sedang apa kau disini? Siapa dia?" ucap seseorang.

"Vi-Vino, kau disini?? Ah..kenalkan dia Brista temanku" aku berdiri sambil menatapnya bingung.

Vino mengulurkan tangan untuk berjabatan, namun Brista hanya diam menatap tangan Vino tanpa berniat membalas jabatan tangan itu. Karena merasa tidak ada balasan Vino menarik tangannya kembali seraya menatap Brista dengan alis yang bertaut.

"Ayo pulang Tiana, sudah malam" katanya dingin.

"Brista, kau tidak apa kan?" tanyaku.

"Yaa..tidak apa, kau pulang saja. Hati hati" katanya tersenyum.

🔪🔪🔪

Vino membawaku kerumahnya. Kini aku berada dikamarnya duduk di kasur king size miliknya, Vino menatapku dingin lalu menarik kursi komputer dan duduk disana.

"Kenapa kau bisa sampai disana?" tanyanya dingin dengan dahi berkerut.

"Aku berjalan mencari udara segar, tidak sadar terlalu jauh berjalan, lalu bertemu Brista, membeli coklat panas, lalu duduk ditaman, setelah itu kau datang dan--" kataku terpotong kala melihat wajah Vino yang kini semakin dingin. "Kenapa ada yang salah?" tanyaku tak mengerti dengan tatapan Vino.

"Lain kali, kalau ingin keluar bilang dulu padaku." Vino mengalihkan tatapannya ke layar komputer.

"Memangnya aku ini anak kecil? Aku bisa menjaga diri sendiri!" kataku kesal.

"Jangan membantah!".

Aku hanya mendenggus kesal, percuma jika harus berdebat dengannya. Aku menatap Vino yang kini sedang sangat serius dengan Komputer miliknya.

"Umm..Vin, kau tau kabar tentang kematian Vilona?" tanyaku masih menatapnya.

"Iya, kenapa?" katanya masih fokus pada komputer.

"Kata Brista, saat mayatnya ditemukan kuku jarinya tidak ada ditempatnya. Aku jadi kasihan dengan Vilona, dia mati dengan cara yang yang konyol" ucapku seraya berbaring dikasur.

"Lalu?" tanyanya singkat.

"Kau tau siapa pembunuh Vilona?".

"Mana aku tau, lagi pula memikirkan hal seperti ini bukan pekerjaan ku. Aku tidak akan membuang-buang waktu hanya untuk memikirkan hal semacam itu. Berhenti lah memikirkan itu". Vino menjawabnya dengan santai.

Aku memutar bola mata malas "Vin kenapa kau membawaku kesini?".

"Kau isthirahat saja disini, besok teman ku datang aku akan memperkenalkan mu padanya" ucapnya menatapku.

"Laki-laki atau perempuan?" kataku semangat.

"Jangan banyak bertanya, sudah tidur saja. Dasar bawel!".

"Apa dia tidak bisa bicara lembut sekali saja?!" batinku kesal.

Cruelty Psychopath [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang