Temaram

29 9 2
                                    

🌸

Rekomendasi lagu:
Fiersa Besari - Juara Kedua

🌸

Klise memang. Berawal dari seorang teman yang meminta pertolongan dan berakhir dengan hatiku yang tercabik tanpa pertimbangan.

"Sa, handphone gue ngga ada sinyal nih. Tolong chat Dika dong!" Sebuah teriakan dari arah depan membuat lamunanku buyar.

"Nih ketik sendiri." Aku hanya memberikan ponselku di hadapannya, terlalu malas untuk sekadar mengetik.

"Ogah! Ketik aja gue minta jemput." Seru Salma, temanku, ah tidak, dia sahabatku.

"Yaudah iya." Aku menyambar ponsel yang tadi aku sodorkan, memilih mengalah untuk mengetik sebuah pesan untuk kekasih Salma, Dika.

Beberapa waktu kemudian, klakson yang diyakini milik motor Dika membuatku dan Salma saling menukar tatap. Salma hanya bangkit dari posisinya dan berpamitan padaku, yang notabene adalah pemilik rumah. Aku mengikuti langkahnya, mengantar kepulangan Salma. Akhirnya setelah diambang pintu, kami bertemu Dika dengan senyum sopannya kepadaku.

Detik terus berdetak dan jantungku lagi-lagi menghentak ketika tersadar bahwa Dika melanjutkan chat yang berawal dari Salma yang memintanya untuk menjemput. Aku hanya tersenyum kecut, hey, Dika memiliki kekasih.

Aku adalah seorang yang ceroboh, hingga chat begitu berarti karena sangat membantu. Membantu menyelesaikan sesuatu yang tak ku mengerti, editing contohnya, lalu akhirnya bertanya kepada orang lain, salah satunya adalah Dika.

Air mengalir, seperti perasaanku padanya. Menabrak hulu sungai dan arus lainnya, tetapi tetap membawaku dengan tenang. Entah itu mentari atau rembulan, semua tetap membuatnya sejuk.

Semua berjalan dengan baik, kuliahku, tugasku, sahabatku dan hubunganku. Hubunganku dengan semua orang, termasuk Dika.

Aku bungkam. Hanya mataku yang melebar ketika motor Dika sudah didepan rumahku, tentu saja dengan Dika yang menaikinya. Aku bukan bermaksud mencari perhatian, tadi kami berbincang mengenai dunia editing karena tugas yang menuntutku dan aku lapar, lebih baik tidur bukan dibanding kelaparan tengah malam?

"Ayo!" Dika membuka kaca helmnya dan aku hanya termangu didepan pintu dengan piama yang masih melekat ditubuhku.

"Kemana?" Aku akhirnya menyuarakan pertanyaanku setelah sekian lama bungkam.

"Katanya lapar. Yaudah, ayo! Gue temenin!" Dika tersenyum lebar ketika mengatakannya, apa kabar dengan jantungku? Ah. Sepertinya siap meledak.

"Ngga deh!" Aku menolaknya dengan cepat. Aku masih tahu diri, jika kalian ingin tahu.

"Udah ayo! Nemenin doang. Gue ngga makan." Dika bersikeras dan aku lagi-lagi termangu. Bagaimana dengan jantungku beberapa jam kedepan?

Tidak. Aku tidak bodoh. Aku mengerti diriku sendiri. Bagaimana rasa ini, bagaimana jantung ini. Aku mengerti semua mekanisme yang terjadi, hanya saja, aku hanya takut. Takut jika aku tak dapat melepasnya.

Bisakah aku egois kali ini? Logikaku berteriak tidak, tetapi hatiku memaksa berkata iya.

"Oke. Ganti baju dulu, ya?" Aku hendak masuk kedalam rumahku kembali ketika jemarinya menyentuh lenganku dengan cepat.

"Ngga usah, udah cantik. Ayo!" Jemarinya yang lebih besar dariku menyerahkan helm dan aku masih berpikir keras dengan piamaku.

"Gue belum ambil duit sama handphone." Aku menyeru kembali karena beberapa alasan.

"Ngga usah. Buruan naik!" Kali ini Dika memegang ujung piamaku, menahanku untuk kembali kedalam rumah. Tanpa berpikir lagi, aku hanya menurutinya. Tidak, aku hanya ingin egois sekali saja.

🌸

"Lo beneran ngga pesan apa-apa?" Aku memecah keheningan di tempat duduk kami. Dihadapanku sudah terdapat beberapa makanan cepat saji dan hanya aku yang memesannya.

"Ngga, gue nemenin lo doang." Dika hanya menjawab singkat dan selanjutnya menyimpan ponsel di hadapanku. Dan melanjutkan, "Gue simpen handphone gue. Lo juga. Ngga usah peduliin orang lain hari ini." Aku mengangkat kepalaku, apa maksudnya?

"Gue salah, sa." Dika kembali membuka pembicaraan dan aku hanya menunggu kalimat selanjutnya.

"Gue salah karena gue sayang sama lo." Dika mengucapkannya dengan cepat dan aku hanya terdiam, terlalu kaget. Dan detik setelahnya tawaku pecah. Mengapa lelaki dihadapanku ini begitu brengsek?

"Brengsek ya lo, Dik." Aku masih tetap dengan tawaku dan Dika dihadapanku hanya tersenyum masam.

"Lo juga brengsek kok, sa. Lo juga sayang sama gue." Dika hanya terkekeh dan aku hanya tersenyum beberapa kali sembari mengunyah makananku.

"Iya. Gue memang brengsek." Aku mengakuinya. Tolong jangan bertanya, jantungku berdegup sangat kencang. Terlalu kencang. Hingga tawaku berubah sedikit demi sedikit menjadi isakan kecil.

"Sialan, gue brengsek banget." Aku kembali terisak dengan makanan yang masih ada di dalam mulutku. Aku hanya memejamkan mataku sembari mengunyah, berharap makanan ini cepat habis dan segera pulang.

Jemari Dika kembali berulah. Jemarinya mengusap ujung kepalaku dengan lembut sembari mengucap maaf berkali-kali. Aku tidak mengerti. Maaf untuk apa?

"Gue cuma pilihankan, Dik? Dan gue itu pilihan yang ngga mungkin dipilih." Aku kembali terisak dan menyimpan makananku di nampan sebelumnya. Lalu menenggelamkan kepala kedalam tumpukan lenganku.

"Gue cuma nunggu, tapi ngga pernah ditunggu." Dika kembali mengusap kepalaku tanpa suara. Entahlah, aku terlalu terbawa suasana.

"Gue sayang lo, sa." Dika kembali bicara mengenai hal itu dan membuat perasaanku semakin runyam.

"Kita salah. Kita temaram. Ngga jelas apa hubungannya." Aku bergumam lalu mendongakkan kepalaku dan mendapati mata Dika yang berkaca-kaca.

"Lo mau backstreet?" Dika mengajukan sebuah pertanyaan dan aku langsung melebarkan mataku. Apakah dia gila?

"Mau jadi kisah rahasia? Menarik. Tapi gue, ngga tertarik." Aku tersenyum setelah kata-kataku dan kembali mengambil makananku.

"Salsa.." Dika kembali memecah keheningan, tapi aku tidak bergeming sedikitpun.









































"Dika, gue harap lo tetep sama Salma. Gue cuma piguran di semua cerita lo sama Salma. Gue cuma pilihan dan Salma itu jawaban."

🌸

Best regards,
la.

Untitled | Indonesian CastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang