Usai

32 9 4
                                    


🌸

Tidak pernah ada kata memulai, tapi berakhir dengan kata usai. Begitulah kami. Berawal dari sapaan hangat di malam hari, chat yang awalnya sepi menjadi yang paling dinanti.

Bumi itu memang bulat, layaknya roda yang berputar, begitu pula perasaanku, perasaan seorang Sagita Pratiwi. Awalnya aku membenci bagaimana dia so kenal so dekat kepadaku dan berakhir dengan aku yang selalu menanti kekonyolan selanjutnya yang akan dia ceritakan.

Menurut orang lain, namaku dan namanya memang diciptakan berdampingan. Aku Gita dan dirinya adalah Aris. Gitaris. Tapi memang benar, baik aku maupun dia merupakan gitaris. Bedanya aku hanya band youtube dan dia memiliki band sesungguhnya. Kami dekat, entah dalam ranah apa, aku pun tak tahu.

Kami sering bertukar pikiran, entah di perpustakaan kampus ataupun kafe didepan kampus. Kami bercengkrama layaknya sudah saling mengenal satu sama lain, tanpa menaruh curiga apapun karena kami saling percaya. Dia kakak tingkatku, sudah ditingkat akhir. Berbeda kesibukan dengan aku yang masih harus mengikuti uas dan kuis, dia hanya tinggal menyelesaikan skripsi lalu sidang.

Belakangan ini, usahanya berkembang pesat, membuka kafe yang instagram-able didekat kampus. Beberapa kali dia memintaku untuk berpendapat mengenai menu baru ataupun tampilan baru di kafe miliknya.

Untuk usia yang sematang ini, kadang aku berpikir hubunganku dengan Aris bukanlah hal yang layak. Ya, dia semester akhir dan aku semester empat. Bukan seorang remaja yang penasaran akan rasanya jatuh cinta dan bukan seorang dewasa yang dipaksa untuk mencinta. Dan hingga saat ini, kami tidak pernah saling memulai, tetapi kami saling menyukai. Kekanakkan memang.

Beberapa hari kemarin, Aris menghilang. Menghilang dari arah pandangku dan tak dapat kuhubungi sama sekali. Secara tiba-tiba, dia memberiku sebuah pesan untuk datang ke kafe miliknya pukul 5 sore. Aku tidak berpikir kemungkinan apapun, karena memang semua baik-baik saja.

"Milkshake vanila?" Aku hanya mengangguk dan mengambil tempat dihadapannya, mengedarkan pandangan sampai ke penjuru kafe. Kafe ini ramai. Itu yang dapat kusimpulkan.

"Film atau makan?" Aris membawa milkshake vanila milikku sembari bertanya. Aku hanya mengerutkan dahi, untuk apa pertanyaan itu?

"Kencan.. mungkin?" Tanpa menunggu aku berbicara, dia mengambil langkah untuk menjelaskan mengapa pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.

"Film." Aku hanya menjawab singkat dan mengambil milkshake vanila dihadapanku. Ketika akan meminumnya, gelas yang menampung milkshake vanila itu bergeser. Aris menggesernya.

"Weekend atau weekday?" Lagi-lagi aku mengerutkan dahi. Aris bukan tipe yang suka bertanya. Selama aku mengenalnya, ia hanya mengajakku dan aku akan menyanggupinya.

"...weekday." Aku menjawab singkat sebelum menyingkirkan tangannya yang sejak tadi bertengger di gelas milkshake milikku. Aris menggesernya, lagi.

"Kamu kuliah, Gita." Aku mengendikkan bahu. Silakan berpikir sendiri saja. Aku ingin milkshake vanila sekarang juga!

"Senin, jam 1 siang." Aris menggeser gelas milkshake vanila itu kembali kehadapanku. Aku hanya mengacungkan jempol, tanda setuju dengan permintaannya.

Sedangkan di Hari Senin yang begitu terik ini, rasanya aku ingin cepat-cepat jam 1 siang setelah mendapat kuis di pagi hari. Sialan memang, menghancurkan mood saja. Banyak pertanyaan yang terngiang di benakku, tidak hanya banyak, tetapi sangat banyak. Terlalu sakit untuk terucap, terlalu pilu untuk terdiam.

"Aris!" Aku menghampirinya. Kulihat jemarinya sudah memegang dua tiket, untukku dan untuknya. "Kuis ya tadi?" Ia membawaku ke tempat duduk untuk menunggu, aku mengangguk sebagai jawaban.

Aris menggenggam jemariku sejak masuk ke dalam studio 3, tempat kami menonton film. Waktu memang sangat cepat, hingga akhirnya aku keluar dari sana bersama Aris dan duduk ditempat sebelumnya kami menunggu. Tak ada yang berkata, tak ada lantunan nada. Kami berdua tenggelam dalam lamunan masing-masing sedangkan jemarinya masih menggenggam jemariku.

"Gita?" Aris membuka pembicaraan ketika melihatku hanya diam.

"Jangan." Aku menjawab tanpa melihat matanya, tidak, aku tidak sanggup.

Jemarinya semakin erat menggenggamku dan akupun begitu. "Gita?" Suaranya mengalun kembali di telingaku, menyadarkanku dari lamunan semu.

"Selamat." Aku mengendurkan genggamanku pada jemarinya, sedikit demi sedikit menatap jemarinya yang terkadang menyentuh puncak kepalaku ataupun menggenggam jemariku.

"Gita.." Ia seperti tidak berniat menjelaskan apapun, hanya terus memanggilku. Aku kembali mengendurkan genggaman tangannya hingga terlepas.

Aku memberanikan menatap maniknya yang hari ini begitu sendu, tidak seperti biasanya yang selalu memiliki semangat menggebu. Aku mencoba untuk terlihat menyenangkan, hey, aku akan mengucapkan kata selamat.

"Selamat, Aris.





























...atas pernikahan kamu dengan Rahma minggu depan."

🌸

Regards and love,
la.

Untitled | Indonesian CastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang