08 - Hari Raya

2.7K 441 49
                                    


[...]

[

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[...]


"Haha iya,"




"Loh, masih kerja disitu? Aku kira udah pindah ke perusahaan bapak,"


Ramai, menggambarkan suasana hari ini. Hari raya idul fitri, hari kedua. Sudah menjadi kebiasaan keluarga besarku akan datang dan berkumpul dirumahku.



Aku kebiasaan menjauhkan diri dari orang banyak, karena aku sedikit berbeda dari yang lain. Aku takut orang.



Jadi sekarang aku cuma berdiam diri di dapur, sambil ngicip makanan apapun yang ada disitu. Kalau bosan nanti pindah ke kamar atau ke kamar Jisung.




Oh iya, perihal Mas Raihan. Saat pulang kemarin, dia kaget liat Jisung yang nempatin kamarnya. Akhirnya berusaha dijelasin oleh bunda dan ayah, lalu keputusannya Mas Raihan tidur dikamarku.

Pastinya, dia tidur di matras lantai.

Mana mau aku berbagi kasur sama dia. Dia kalau tidur suka makan tempat.



Di hari raya ini aku agak lega, karena Jisung bisa seenaknya berkeliaran disaat keluargaku datang semua. Karena anggota keluargaku tidak ada yang kpopers, terkecuali aku. Jadi ya mereka mengira Jisung hanya tamu singgah dirumahku.


"Eh, ngelamunin apa?"



Aku kaget dengan tepukkan di pundakku. Aku menoleh dan mendapati Jisung yang sedang mengunyah pisang.



Lantas aku menggeleng, "Enggak."



Lalu ia mengambil kursi dan menggeretnya tepat didepanku, "Lusa aku pulang."



Aku menghentikan kunyahanku, menjatuhkan kue kering ditanganku ke atas piring. "Yang bener?" tanyaku, Jisung mengangguk.



"Apa? Gak rela aku tinggal pulang?" ejeknya sambil membuang kulit pisang ke tempat sampah. Aku menelan bolus nastar dan meneguk air putih sampai habis.


Ku hentakkan gelas ditanganku ke atas meja dengan agak keras, "Kok cepet banget sih?!" pekikku. Jisung tertawa terbahak-bahak. "Nah kan, nggak rela. Ya gimana, managerku semalem nelpon. Aku mau kasih tau kamu dari tadi malem, cuma kamu ketiduran sih," ucapnya santai.


Disaat-saat begini dia malah mengucapkannya dengan tanpa dosa dan begitu santai. Aku jelas tidak terima dan memukulnya brutal. "Jangan pulang duluuu!!!" rengekku.



"Kamu aja belum bikin kenangan disini, nanti kamu kangen gimana?" gumamku sambil menyudahi pukulanku. Jisung berdeham lalu beralih mencubit pipiku kencang, "Belum bikin kenangan gimana? Aku jalan sama kamu, belajar ngomong indonesia sama kamu, bantuin bunda bikin kue, ngerjain kamu, ketemu keluarga kamu, ngehabisin waktu dirumah, itu semua kenangan."


"Kenangan gak selamanya harus yang mewah, jalan ke tempat mewah, foto-foto, ngehabisin uang. Spend a time with family itu juga kenangan kok, aku gabutuh foto. Toh nanti juga bakal gasengaja di hapusin Changbin," kata Jisung. Aku mengusap pipiku yang memerah akibat dicubit Jisung.



"Ih merah, lucu kaya tomat. Jadi keinget waktu ke taman mukamu merah banget," ucap Jisung sambil menertawaiku.


"Ya tapi kan aku belum ikhlas ngelepas kamu pulang, Jisuunngg!!!" pekikku dengan tanpa sadar menangis.


[...]


Setelah aku menangis di dapur karena Jisung, ia berinisiatif mengajakku keluar sebentar ke taman. Lengkap dengan peralatan kamuflase-nya, ia membawaku ke taman dimana aku di gombali olehnya.


"Kamu gak main sama merpati lagi?" tanya Jisung. Aku menggeleng, "Nggak. Lagi gak mood."



Jisung berdecak pelan lalu merangkul─bukan, merangkulku seperti lelaki dan menggeretku kearah kandang merpati yang tak jauh dari tempat kami duduk.


Merpatinya tidak dilepas, pantas aku tidak melihat ada merpati yang berkeliaran. Jisung membawaku ke depan kandang merpati, aku hanya menatap satu-satu hewan bersayap ini.


"Nggak mau main sama mereka?" tanyanya. Aku menggeleng, enggan menjawab dan enggan bermain. "Ih, jangan sedih gitu dong. Iya, aku emang bakal ninggalin kamu ke negara yang jauh dari sini. Tapi aku gak bakal ninggalin kenangan yang udah aku buat selama disini," ucapnya.



"Kita tetep bisa kontak-kontakkan, beneran. Kamu save nomorku, aku save nomormu. Kamu add sosmedku, aku add sosmedmu. Kalau gak sibuk dan punya waktu luang, aku bakal ngabarin kamu. Aku gak bakal lupa, inget omongannya Han Jisung ini,"


"Kamu jangan gampang nangis selama aku pulang. Aku juga nangis kalau kamu nangis. Kamu itu udah aku anggap adik. Lagian, kalo liburan lagi aku tetep kesini kok. Janji," sambungnya sambil menyodorkan jari kelingkingnya padaku.




Tanganku tergerak mengusap pipiku dan menyambut pinky promisenya.


"Nah, gitu. Jangan nangis. Ayo ke toko hewan, aku mau beliin burung merpati buat kamu pelihara," kata Jisung sambil menggandeng lenganku yang ditutupi lengan panjang.



Aku seneng, dia memperlakukanku seperti orang terdekatnya, seperti keluarganya sendiri, seperti orang terpentingnya.



Aku bersyukur, dikasih nasib baik sama Tuhan. Diperbolehkan ketemu dia, yang jelas-jelas dia artis, ga sembarangan orang boleh ketemu bahkan rumahnya ditumpangi sama dia.


"Nanti burung merpatinya kamu kasih nama Jisung ya, biar kalau kangen liat burung itu aja," candanya. Aku mendorong bahunya pelan, "Nggak, aku kasih nama Han aja. Bosen manggil Jisung," balasku.



Jisung hanya menepuk pipiku pelan sambil tersenyum dibalik maskernya, "Terserah, yang penting ada namaku."


[...]

]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





a/n
Udah mau tamat gengs. Iya, segini doang. Palingan cuma sampe 10 chapter atau lebih dikit, ga banyak-banyak.

[1] ᴏɴᴇ ᴍᴏɴᴛʜ • ʜᴀɴ ᴊɪꜱᴜɴɢ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang