10 - Pulang

2.5K 429 74
                                    



[...]

[

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[...]



Aku barusan selesai bantuin Jisung nge-packing barang-barangnya. Gak banyak, sih. Jisung pas pertama datang ke rumahku cuma bawa satu ransel sama satu koper kecil dan isinya baju semua. Kalau baju dia udah nge-packing sendiri, aku cuma bantu nge-packing beberapa oleh-oleh dari Bunda dan dari aku sendiri.



Aku masukkin dalem kerdus.



Iya, jadi nanti pas di Korea Jisung kaya orang mudik. Bawa-bawa kardus mi instan tapi isinya oleh-oleh dari Indonesia.



Begitu selesai, aku gak langsung beranjak keluar dari kamarnya yang sebenarnya kamar punya Mas Raihan. Besok pesawat Jisung sekitar jam 10 pagi, aku udah bikin keputusan kalo besok ikut nganter Jisung ke Bandara sama Ayah. Mumpung Ayah masih libur kerja.



Aku merhatiin Jisung yang masih asik mainan sama isolasi bening. Dia tempel-tempelin di kakinya setelah itu dicabut. Tau, kan?


Habis itu, dia meringis guling-guling. Sakit katanya.




Aku ketawa, mungkin aku bakal kangen sama kelakuannya yang gak normal di mataku ini. Mungkin juga aku bakal kangen setiap lewat didepan taman yang biasanya kami datangi. Mungkin juga aku bakal kangen kalau lewat didepan gereja yang sebulan ini Jisung datangi untuk ibadah. Dan terakhir, mungkin juga aku bakal kangen setiap liat burung merpati bernama Han di depan rumahku.


Banyak kemungkinan yang akan terjadi.



Pikiranku seolah-olah menjadi sebuah cd player yang memutar berbagai macan film berisi kenangan bersama Jisung selama satu bulan penuh ini.



Saat pertama ia datang, berbicara dengan bahasa inggris nya yang sangat fasih, lalu beralih ke sebuah kenangan dimana aku mengajarkannya bahasa Indonesia. Berbicara dengannya begitu sudah lancar. Lalu Jisung yang mengantarku sekolah, mengajakku ke taman, menghiburku saat aku menangis begitu tau dia akan pulang.



Dan ada satu kenangan yang mungkin akan aku ingat selama aku hidup.



Kenangan dimana aku dan Jisung terjebak hujan di halte dekat mall. Dirinya yang tiba-tiba berkorban untuk melindungiku dengan dirinya sendiri agar aku tidak terciprat air saat sebuah mobil lewat. Dan besoknya, Jisung sakit.



"Ih kamu kenapa lagi? Masih gak rela ku tinggal pulang, ya?" tanya Jisung cemas sembari membenarkan posisi duduknya. Jadi sekarang aku duduk diatas kasurnya, sedangkan Jisung duduk di karpet dengan posisi bersila menghadapku.



Aku mengangguk, berat rasanya. Jisung memainkan jari-jari kaki ku, ia tekan-tekan pelan.




"Jangan gitu, aku jadi gak mau pulang," cicit Jisung. Namun wajahnya kembali mendongak, "Jangan sedih, dong. Inget, kita masih bisa kontak-kontakkan. Selama aku pulang, main sama Kakakmu aja. Kalau bosen, bilang sama aku, baru deh aku temenin kalo gak sibuk."



Aku masih tidak rela. Pandanganku kabur, lalu cairan bening itu jatuh dari kedua mataku. Aku menangis.



"Nah kan, nangis. Aku jadi mau nangis juga, udahan ih. Gini aja janji aku bakal sering ngabarin, 24 jam kalo perlu," ucap Jisung. Aku mengusap air mata yang jatuh di pipiku sembari tertawa pelan. "Enggak, kabarin sebisamu aja. Kalau gak sibuk ya kabarin jangan sampe hilang kontak," balasku. Jisung mengangguk.


"Jisung," panggilku. Jisung menoleh.



"Mau peluk tapi kan gak boleh," cicitku. Jisung berdiri, mengambil selimut yang terlipat rapi disampingku lalu ia lilitkan selimut itu dibadanku.



Selanjutnya, Jisung memeluk badanku yang lebih kecil dari dirinya. Aku jadi merasa tenggelam.


"Nih, udah dibatasin selimut. Udah kupeluk, kan? Udah gak sedih?" tanyanya sembari menepuk-nepuk kepalaku pelan. Aku mengangguk Jisung pun melepas pelukannya.



"Jangan bilang sama Bunda atau Ayah, atau Kakakmu. Biar gak dimarahin. Minta maaf, gih, sama Tuhan mu karena udah dipeluk sama Han Jisung," ucapnya sembari melepas lilitan selimut dibadanku dan melipatnya kembali.



Aku terkekeh pelan, rasanya sudah agak lega walau ada sedikit rasa tidak rela melepas Jisung.


[...]



Satu jam lebih awal, kami sudah sampai di Bandara. Jisung sudah check-in boarding pass dan segala macem yang aku gak ngerti. Sementara aku nunggu dia di kursi kayu sambil makanin roti yang barusan ku beli.


Gak lama Jisung balik, dia comot satu gigitan di roti yang aku pegang. Jelas aku langsung mukul dia dan beralih ngasih satu bungkus roti lagi ke Jisung.



"Bentar lagi aku pulang, jangan kangen, ya? Inget janji-janjiku. Kalo aku lupa ingetin aja, spam chat juga gak papa," ucapnya. Aku mengangguk.




Tidak lama ada pemberitahuan yang mengharuskan seluruh penumpang pesawat Korean Airlines untuk menunggu di ruang tunggu keberangkatan. Jisung mengambil tas ransel miliknya dan menyalimi tangan Ayahku.



"Paman, makasih banyak karena sudah mau nerima saya buat tinggal di rumah Paman. Maaf kalau selama ini saya banyak ngerepotin sekeluarga dirumah," ucap Jisung yang langsung disambut gelengan oleh Ayah. Ayah lanjut memeluk Jisung, seperti anaknya sendiri.



Mas Raihan juga biasa dipeluk seperti ini. Bedanya kalau Mas Raihan ditambah pukulan dibelakang kepalanya, bermaksud sebagai candaan.



"Nggak, gak ngerepotin sama sekali. Bahkan kamu sudah saya anggap anak sendiri, pesan saya nanti saat di Korea jaga kesehatan, jangan sampai sakit. Oleh-olehnya juga dimakan atau dibagi-bagi ke temen-temen kamu. Hati-hati ya, Nak Jisung!" ucap Ayah memberi banyak petuah yang diangguki Jisung.



Setelah itu Jisung beralih menatapku. "Aku berangkat ya? Jangan kangen, nanti aku kabarin." Aku mengangguk lalu membiarkannya berjalan menjauh masuk ke dalam ruang tunggu keberangkatan.


Begitu ia sudah hilang, aku kembali ke parkiran bersama Ayah untuk mengambil mobil dan pulang ke rumah.



Masih sama, sedikit lega dan sedikit tidak rela.


[...]

]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


a/n
Belum tamat kok gaes.

[1] ᴏɴᴇ ᴍᴏɴᴛʜ • ʜᴀɴ ᴊɪꜱᴜɴɢ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang