9

278 26 2
                                    

Anjerrr gua updatenya lama bgt cuy))): maafkan diriku yang susah mendapat inspirasi )):

Jangan tinggalkan lapak q y q mohon :')

***

Langit mendung merintikkan hujannya― menampakkan kumpulan awan sekelam hati milik sang gadis yang tengah menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan tangan. Gadis itu terlihat begitu letih, hingga tidak sanggup menopang dagunya dan mengabaikan penjelasan guru di depannya.

"Audreeva!" Seru Bu Nari selaku guru mata pelajaran kimia. Wanita paruh baya itu melirik Eva yang tertangkap basah tertidur di kelas dengan tajam, membuat para murid menunduk takut.

Gadis yang namanya terpanggil itu tidak tersentak kaget. Ia hanya mengangkat wajahnya dengan sangat pelan, tidak mengindahkan sang guru yang terlihat geram di hadapannya.

Wajah Eva terlihat begitu lusuh, bibirnya pucat pasi tidak menunjukkan warna cerah seperti biasanya. Bu Nari yang melihatnya pun mendelik kaget, melupakan amarahnya dalam waktu yang singkat.

"Wajahmu pucat sekali, nak. Kenapa? Sakit? Gimana kalau ke ruang kesehatan saja?" Bu Nari terus melontarkan pertanyaan― menunjukkan rasa khawatirnya terhadap Eva. Namun Eva menggeleng pelan menolak tawaran sang guru.

"Tidak usah, bu. Saya hanya merasa sedikit pusing." Balas Eva seadanya. Ia memberikan senyuman tipisnya, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

"Ya sudah. Kalau kamu masih sanggup menyimak pelajaran saya, silahkan saja. Tapi kalau memang tidak bisa, tolong jangan memaksakan diri." Ujar Bu Nari kemudian. Eva mengangguk pelan dan berterimakasih dalam batinnya karena Bu Nari mau mengerti keadaannya saat ini.

Gadis itu mencoba untuk memperhatikan guru di hadapannya sebisa mungkin, meskipun pada kenyataannya ia sangat sulit berkonsentrasi.

Baru tiga hari terlewati semenjak kejadian Eva yang memergoki Devon tengah berkencan dengan gadis lain. Sejak hari itu, Eva berusaha menghindari Devon sebisa mungkin.

Hatinya sakit, kepalanya penat, pikirannya sungguh kacau. Ia tidak tau bagaimana caranya menghadapi Devon kemudian. Haruskah ia menangis, kecewa, marah, atau apa?

Tetapi sekali lagi, memangnya ia siapa? Kekasih saja bukan. Ia tidak memiliki status di mana ia berhak merasa sedih sekalipun.

Risa― gadis yang merupakan sahabat sekaligus teman sebangku Eva melirik dengan gusar. Ia sangat khawatir dengan keadaan Eva yang terlihat mendekati mayat hidup.

Gadis itu merobek secarik kertas dari buku tulisnya. Ia menuliskan beberapa kata pada secarik kertas itu kemudian meletakkannya di meja Eva.

Namun pandangan Eva tetap lurus ke depan. Gadis itu nyatanya tengah melamun― entah apa yang ada di pikirannya hingga tidak menyadari secarik kertas yang terletak di mejanya.

Risa mendengus pelan. Mau tak mau ia mengambil kembali secarik kertas miliknya dan menepuk pelan lengan milik Eva, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

"Lo kenapa? Ada masalah? Lo gak mau cerita ke gue?" Tanya Risa dengan sangat pelan― bahkan nyaris tak bersuara. Eva pun tersenyum tipis. Ia senang karena Risa terlihat mengkhawatirkannya.

"Gue mau cerita kok. Tapi nanti pas pulang sekolah." Tutur Eva sama pelannya kemudian. Gadis di sampingnya itu terlihat menghela nafasnya kemudian mengangguk pelan.

Risa kembali memperhatikan guru di depan kelasnya sementara Eva merasa kepalanya akan segera pecah jika ia berusaha mencerna pembahasan sang guru, sehingga memilih untuk tidur.

***

"Lo beneran gak apa-apa kan gue tinggal?" Gadis itu terlihat ragu dan merasa tidak nyaman. Melihat wajahnya membuat Eva tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

[#2] The Truth Untold [SlowUpdate]Where stories live. Discover now