Dering telepon rumah membangunkan Hinata dari tidur lelapnya. Mata beriris bulan itu melirik pada jam dinding dan bergumam pelan kala sudah menyadari bahwa waktu masih memasuki dini hari.
"Setengah empat pagi?"
Hinata mulai bangun mendudukkan diri, ia masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Mulutnya bahkan masih menguap beberapa kali di iringi usapan pada mata dan pipi gembilnya.
Suara dering telepon masih terus terdengar. Perlahan Hinata mulai bangkit, membuka pintu kamarnya dan berjalan pelan ke ruang tengah. Selangkah demi selangkah Hinata berjalan. Sedikit lambat mengingat rasa kantuknya belum sepenuhnya pergi.
Beberpa kali dirinya menyentuh dinding, menyangga tubuhnya yang oleng karena hampir terlelap. Tapi Hinata tidak bisa, ia tidak boleh mengabaikan telepon itu. Seseorang pasti sedang mengalami keadaan yang cukup genting karena menelepon di pagi buta seperti ini. Setidaknya hati dan otak Hinata berfikir demikian.
"Hallo?"
Gagang telepon sudah menempel, Hinata kembali mengusap matanya dan memfokuskan pendengaran. Hening, tak sedikitpun suara terdengar setelah beberpa saat Hinata menunggu.
"Hallo?"
Hinata mengulanginya, ia sedikit mengeraskan suara, berfikir mungkin saja seseorang di seberang sana tidak mendengar sapaannya. Satu detik, dua detik, hingga detik-detik berikutnya pun Hinata tidak mendengar apapun selain kesunyian, "apakah ini mati?" Batin Hinata menebak-nebak.
Namun sebuah suara gesekan terdengar, di iringi dengan deru nafas seseorang. Kantuk Hinata langsung menghilang, dirinya tiba-tiba merasa ketakutan. Ketenangan yang mengiringinya sedari awal mendadak lenyap saat hembusan nafas iu terdengar sangat jelas dari dalam telepon.
Tangan Hinata bergetar, bola matanya bergerak-gerak gelisah dan keringat dingin mulai muncul dari seluruh pori-pori tubuhnya.
Dalam kepalanya, Hinata jelas mengingat satu kasus yang terjadi baru-baru ini di lingkungan tempat tinggalnya.
Seorang wanita yang hidup sendirian ditemukan tewas dan diperkosa. Ada seorang saksi yang mengatakan, beberapa hari sebelumnya sang wanita mendapat telepon misterius tapi tidak ada yang menjawab saat telepon iu diangkat. Pihak kepolisian dan warga sekitar menganggap telepon misterius itu berasal dari sang pelaku yang sedang memastikan keberadaan targetnya.
Dan tubuh Hinata mulai menggigil, jantungnya berdetak kencang pula matanya tidak bisa berhenti melirik ke segala arah. Kakinya melemas dan ia mulai berjalan mundur. Hampir saja gagang telepon itu dirinya lempar jika saja suara Naruto tidak terdengar di telinganya.
.
.
"Hinata?"
Sapaan pertama Naruto selama beberapa menit terdiam dan setelah dua bulan lebih melupakan sang wanita. Naruto menahan nafas berat saat ingin mengucapkannya. Tenggorokannya terasa tersumbat sesuatu dan dirinya tau dengan pasti apa penyebabnya. Rasa bersalah dan sesal yang mendalam.
Senyum sendu Naruto terukir begitu saja kala mendengar isakan kerinduan Hinata diseberang sana. Hatinya tersayat saat rentetan kata kerinduan dari sang wanita dengan lancar masuk di area pendengarannya. Bukan hanya itu, Hinata bahkan masih menanyakan kabar dan menghawatirkannya. Tuhan, bagaimana Naruto bisa melupakan Hinata.
"Ssstt..Jangan menangis, aku juga merindukanmu.."
Hanya itu yang mampu Naruto ucapkan. Rasa bersalah semakin meradang di hatinya kala mendengar Hinata tak kunjung menghentikan tangis. Sepertinya Naruto memang pantas dihukum karena sempat lupa pada Hinata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dare ga machigatte iru (SALAH SIAPA)
Fanfiction[Naruto milik M.K sensei] [NarutoxHinata] [Hurt, angst] [Mature] [Ide dari @nanaanayi] [Dikembangkan oleku] [Cover edit by @Hime_Queen] [no bacot! just read] Uzumaki Naruto seorang suami dari Haruno Sakura bertemu dengan Hyuuga Hinata seorang penjag...