Juna || Is it worth enough? (2)

746 96 45
                                    


Waktu berjalan begitu cepat, sudah hampir dua belas bulan setelah kejadian itu dan (F/N) telah hilang kontak dengan suami-nya selama itu.

(F/N) melihat cincin yang memeluk jari manisnya itu. Seketika ingatan ketika Juna memakaikan cincin itu tiba-tiba muncul di dalam benaknya. Kenangan yang indah, pikir (F/N) sambil tersenyum miris menertawai dirinya sendiri yang hampir gila saat tahu Juna tidur dengan seorang jalang.

Meskipun telah hilang kontak selama dua-belas bulan, secara agama dan negara mereka masih ber-status suami-istri. Mereka belum cerai, atau lebih tepatnya tidak ada yang berani melakukannya. Entah antara alasan kasihan, masih ragu, atau memang pengecut.

***

12 Bulan yang lalu...

"Kayaknya kamu mendingan pindah aja deh." Usul Desya sambil melihat iba temannya yang hampir gila itu.

"Gila... Aku di usir dari rumahku—"

"Kamu gak di usir! Ini buat kebaikan kamu!" Teriak Descya yang membuat kamu sedikit terkejut. Sudah sangat jelas, Descya sekarang sangat capek menghadapi sahabatnya itu. Lalu tak lama kemudian, Descya keluar dari kamar tamu Reihan— kalian pikir ini ide bagus untuk membiarkan (F/N) tinggal di Rumah Reihan untuk sementara.

(F/N) akhirnya terdiam dan kemudia tatapannya mendarat pada benda yang ada di tangannya. Satu-satunya benda yang ia bawa sebelum ia bersumpah untuk tidak menginjakan kakinya di rumah itu lagi, benar, handphone-nya.

(F/N) termenung sambil menatap handphone-nya dan akhirnya, ia membiarkan setetes air mata jatuh. Yang kemudian menjadi isakan tangis sepanjang malam.

***

"Kamu yakin mau pindah?" Tanya Descya dengan lembut kepada sahabatnya itu.

"Iya, gak enak ngerepotin Reihan jadinya." Kata (F/N) sambil tersenyum.

"Lu tau kan lu gak bakal pernah bikin gua kerepotan." Ucap Reihan sambil merangkul kamu. "Gak ah, kebetulan rumah ayah udah lama gak ditinggalin jadi hitun-hitung merawat rumah pemberian orang tua." Balas kamu, "Btw, makasih ya udah mau nampung aku selama dua minggu." lanjut kamu lalu tersenyum ke Reihan. "Sans."

"Hati-hati aja ya, Dek." Ujar Bejo sambil mengelus rambut (F/N) dan akhirnya (F/N) beranjak masuk ke dalam Taxi yang dia pesan.

Dan Dirga hanya menatapnya tanpa berbicara.

***

Sebenarnya, (F/N) masih sangat belum stabil. Lalu kenapa dia memutuskan untuk tinggal di rumah peninggalan orang tua-nya? Alasannya simple, karena dia tidak mau teman-temanya merasa sedih dan capek ketika harus menangani (F/N) yang sering menangis dan mengamuk.

***

"GAK!" Teriak (F/N) dengan suara penuh ketakutan lalu duduk di tempat tidurnya.

Mimpi, pikir (F/N) untuk menenangkan diri walaupun dia masih sangat ingat dengan mimpi buruknya. Mimpi buruk yang sudah menghantui-nya selama dua minggu terakhir. Mimpi dimana semua orang meninggalkannya dan pergi tanpa alasan.

Dia-pun akhirnya hanya bisa memeluk kakinya lalu menangis sampai fajar tiba— setidaknya kali ini dia tidak mengganggu teman-temannya karena dia menangis.

***

Suatu malam, (F/N) tidak tahan menanggung semua itu dan meraih pisau kecil peraknya yang berkilauan itu— tergeletak sangat dekat dengannya.

Dia mengambilnya dan menyayat lengannya dengan kasar, berteriak puas dan menangis lega ketika darahnya tumpah dan membentuk genangan di kasurnya.

Dua jam kemudian dia terbangun dengan tenang. Dia melihat ke pergelangan tangannya yang penuh bekas luka namun tetap halus dan pucat.

***

"Menyedihkan." (F/N) bisa sangat jelas mendengar suara almarhum ayahnya yang menatapnya dengan kecewa. "Ibumu pasti akan sangat kecewa ketika melihat putrinya yang menjadi gila."

...dan (F/N) bahkan tidak memiliki tenaga untuk menyetujuinya.

***

Satu persatu teman-temannya datang.

Reihan, Descya, Bejo, dan Dirga.

Tapi entah kenapa, (F/N) hanya bisa tertawa. Tertawa menertawai dirinya yang sekarang sangat hancur ini.

***

Kalian tahu siapa lagi yang datang? Juna.

"Aku benar-benar menyesal." bisikan Juna bisa terdengar sangat jelas ke kuping (F/N) dan (F/N) pasti sudah meludahinya jika dia tidak dibawah efek bius.

***

Setelah tiga bulan terapi, akhirnya (F/N) dinyatakan sudah stabil— atau cukup stabil untuk bisa melanjutkan Perusahaan (L/N).

***

"Tuan Harold?" Tanya (F/N) sambil tersenyum manis terhadap rekan bisnisnya yang sekarang sedang duduk di hadapannya.

"Harry Harold." Balas Harry lalu berjabat tangan dengan (F/N). "Dan tolong panggil saja 'Harry'."

Muka asia dengan kulit tanned membuant-nya cukup untuk menarik perhatiaan (F/N) kepada ia seorang.

***

Setelah satu bulan berteman, mereka menjadi sangat dekat. Sangat dekat hingga (F/N) bisa berhenti memikirkan Juna dan hanya terfokus pada Harry seorang.

"Kamu mau dinner?" Tanya Harry tiba-tiba di suata siang.

"Untuk membicarakan soal—"

"Gak, gak. Maksud aku dinner biasa dimana kita... hanya dinner. Bukan dinner untuk urusan pekerjaan." Jelas Harry sambil tersenyum pada (F/N).

"Tentu saja." Balas (F/N) tanpa meyembunyikan rasa senangnya.

Mungkin ini awal yang baru untuk (F/N).







.
Ini kalau aku bikin Part 3-nya masih pada mau baca gak? 😂

304th Study Room!!! One-shot CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang