Part 11: Telusur

10.9K 537 91
                                    

AKU TAHU TAPI AKU PURA PURA TIDAK TAHU

(PUTRI)

Sesampainya di rumah Fia, aku langsung menuju kamar, memilih untuk menyendiri. Duduk di tepi ranjang menatap jendela kamar dengan pikiran yang sibuk menata hati. Sungguh aku sangat menyadari bahwa semua yang terjadi atas kehendakNya. Meskipun nalarku tak bisa paham mengapa tuhan begitu senang memberikan aku kesulitan. Kondisi kehidupanku sungguh tidak menyenangkan, diberi ujian kemandulan, dibiarkan menjadi sebatang kara, di khianati orang yang paling aku cintai, dimusuhi saudara ipar, dan didzolimi oleh sesama wanita yang menginginkan suamiku, dan entah derita apalagi yang Tuhan inginkan dariku.
“Baiklah Tuhan mulai hari ini aku akan menghadapi semuanya dengan tidak lagi melemahkan hatiku. Aku akan menghadapi semua dengan kekerasan hati tidak akan adalagi air mata. Jika mereka bisa begitu berkeras menyakiti maka aku juga pasti bisa berkeras pada diriku agar tidak lagi mengalah pada keadaan”
Aku mencoba merubah cara pandangku tentang bersabar. Kemarin aku bersabar dengan hanya diam, tapi justru hanya memperlihatkan kebodohanku karena membiarkan harga diri ini diinjak-injak mereka yang begitu pongah ingin melihat aku hancur karena keadaan. Tidak akan lagi, aku tidak akan hanya diam saja sekarang.
“Putri….” Fia mengetuk pintu kamar.
“Iya, sebentar” aku beranjak dari ranjang dan segera membuka pintu kamar.
“Kamu mau ikut aku keluar? Aku laper mau cari makan”
“Tidak Fia, aku sedang tidak bernafsu. Silakan saja, maaf aku tidak bisa menemanimu makan ya”
“Ok, baiklah. Kebiasaan lama, tiap stres kamu pasti tidak bisa makan dengan benar. Jaga kondisimu jangan sampai masalah ini bikin kamu sakit. Aku pergi dulu” aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Aku tidak mungkin terus merepotkan Fia. Besok aku harus pergi mencari tempat baru. Aku akan mencari informasi pada Pak Din, penjaga sekolah, siapa tahu dia memiliki informasi tempat kosan di sekitar sekolahan.
“Hallo, selamat malam Pak Din, saya Putri” sapaku di telepon.
“oh, Bu Putri selamat malam bu” jawab Pak Din.
“Pak Din, saya sedang mencari kos-kosan di sekitar sekolahan, apa bapak punya informasinya?’
“kos-kosan ya bu? Ada, kebetulan yang jaga kosannya adik saya, dekat bu dari sekolah, paling jaraknya 500 meteran dari sekolah, Cuma saya tidak hapal apa masih ada yang kosong atau tidak”
“Bisa dicarikan informasinya pak? Saya butuh cepat soalnya”
“Baik, saya coba telepon adik saya dulu ya bu”
“Baik pak, saya tunggu, terima kasih” lega rasanya semoga saja masih ada tempat disana.
Beberpa menit setelah itu, Pak Din mengirimkan pesan SMS, menurut informasi dari adiknya Pak Din, ternyata kosan di sana sudah penuh terisi. Tetapi, Pak Din juga memberikan informasi bahwa adiknya mengetahui beberapa tempat di sekitar sana dan akan mencarikan informasinya untuk aku.
______
(RAMA)
Putri, wajahnya masih terbayang jelas di pelupuk mata. Ekspresi kecewa dan kesedihannya membuat dia tampak berbeda dari biasanya. Jiwanya benar-benar memberontak dan sorotan matanya begitu dingin. Aku berdosa padanya, dia kecewa karena aku membohonginya. Aku pikir semua akan berjalan baik sesuai rencanaku. Aku harus menepi dan memeriksa hp itu. Aku menyalakan Hpnya, menunggu sesaat karena loading, dan akhirnya aku bisa mengetahui semuanya. Dadaku terasa sesak membanyangkan Putri saat menerima ini semua. Putri pasti sangat menderita.
Rina dan sintia sungguh tak bisa dipercaya, mereka sungguh keterlaluan, diam-diam mereka menyakiti Putri. Putri aku sungguh malu untuk menghadapimu, akankah Putri mendengarkan penjelasanku, maukah dia menerima maaf dan kembali seperti dulu? Ya Tuhan bagaimana ini, apa yang harus aku jelaskan pada Putri.
Hatiku terasa sakit, mengetahui semua ini. Aku begitu yakin bahwa aku bisa menyimpannya dengan baik. Ternyata Rina dan Sintia justru membodohiku. Mereka sungguh ingin membuat Putri sakit dan menderita, mereka berdua sudah melewati batas. Pantaslah jika Putri begitu marah. Aku sungguh menyesal telah bertindak bodoh seperti ini.
Selesai membaca semua, aku melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit, pikiranku tidak tenang, bingung dan meresah. Jalanan malam ini juga padat tidak seperti biasanya, rasanya lama sekali untuk bisa sampai di rumah sakit.
Rina, aku harus bicara padanya tentang prilaku buruknya pada Putri. Rina harus memberi penjelasan mengapa dia membocorkan pernikahanku dengan Sintia pada Putri.
“hallo, Rina kamu dimana?”
“ya kak, aku sudah di kamar perawatan Alif”
“Sebentar lagi aku sampai rumah sakit, tunggu aku di Lobby depan”
“iya” jawab Rina dan aku menutup telepon sambil memasuki areal parkir rumah sakit.
Nada dering notifikasi Whatapps berbunyi, aku membukanya setelah mobil terparkir dengan baik. Sintia meminta aku datang ke tempatnya, kebetulan sekali aku menang sudah berniat menemuinya untuk membicarakan tentang sikapnya pada Putri.
Darahku sekarang terasa panas, seperti mendidih. Adrenalinku terpacu kencang karena memikirkan kelakuan Rina dan Sintia pada Putri. Seharusnya aku melindungi Putri, menjaga perasaan dan memberikan kenyamanan untuknya. Aku merasa gagal dan semua karena kelakuan mereka berdua.
Aku memasuki ruang lobby dengan sangat tergesa, sesaat aku berdiri menyisir ruangan lobby mencari Rina. Tak lama Rina terlihat baru keluar dari pintu lift dan berjalan menuju ke arahku. Dengan sigap aku memegang tangan Rina dan menggusurnya keluar Lobby, berjalan menuju taman di halaman samping rumah sakit, untuk menghindari keramain. Rina tampak kebingungan melihat sikap kasar yang aku tunjukkan padanya.
“kamu kenapa sih kak? Tanganku sakit ini, kita mau kemana?” dia bertanya dengan wajah meringis.
Aku lalu melepaskan tangannya, sesampainya di taman yang sepi, tanpa banyak kata aku pun melepaskan tamparan keras di pipi kirinya, plak!
“Kamu pantas menerima itu!”
“Apa yang kakak lakukan?” Rina tampak kaget dengan tangan memegang pipik kirinya yang kesakitan, matanya mulai nanar.
“Aku sedang memberimu pelajaran, masih untung aku ingat kalau kamu ini adik perempuanku, kalau kamu laki-laki aku akan memberimu lebih dari itu!” setengah membentaknya.
“Kenapa harus marah padaku? Kakak marah karena motor Putri hilang? Karena Putri kakak berani kasar padaku?” Berondong pertanyaannya padaku.
“Iya, aku melakukannya karena Putri. Kamu sudah kelewat batas! Apa yang kamu mau dari Putri hah? Kenapa kamu bersikap jahat padanya?”
“kamu bicara apa kak? Bukan aku yang mencuri motornya? Kenapa kamu begitu kasar?” Rina masih belum paham dengan sikapku, dia mengira aku marah karena motor Putri yang dia hilangkan.
“Jawab pertanyaanku jangan berkilah, kenapa kamu memberitahu Putri tentang pernikahanku dengan Sintia? Kamu sudah bersumpah akan merahasiakannya dari Putri dan semuanya. Katakan, kenapa hah?” sulit sekali mengontrol emosi hingga akupun terus berteriak pada Rina. Seseaat Rina tersentak, matanya terbelalak mendengar pertanyaanku, dia menggit bibirnya seakan ingin menahan berbicara matanya bergerak seperti berpikir. Aku merasa dia akan melakukan membenaran atas sikapnya terhadap Putri.
“Jawab aku? Kenapa kamu berbuat seperti itu?”
“Aku benci Putri, Aku ingin Putri pergi meninggalkan Kak Rama, Aku ingin Putri tidak ada di keluarga kita” Rina menatapku dengan tajam, terlihat sekali kalau dia begitu membenci Putri sepertinya Rina sedang membalas dendam karena sesuatu.
“kamu gila, Rina. Alasannya apa hingga kamu ingin Putri pergi?”
“Aku membencinya, dia itu sok suci, sok pintar dan senang mencari muka. Dia selalu mengambil perhatian banyak orang bahkan perhatian Kak Rama, ibu dan bapak pun dia ambil” Rina menjelaskan dengan penuh kebencian, sepertinya dia cemburu dengan Putri hingga mendendam.
“kamu sakit jiwa, Rin. Kamu tidak waras, kamu dengan sengaja telah berbuat jahat pada Putri, kamu berlebihan dalam berprasangka”
“Dia yang jahat, dengan wajah tanpa dosanya dia membuat aku jadi tersangka atas nasib buruknya. Dia yang yatim piatu lalu kenapa aku yang dituduh penyebabnya, Ibu dan Bapak selalu saja mengungkitnya. Aku benci melihat ibu dan bapak yang begitu memanjakannya. Aku juga putri mereka kak, tapi seolah aku tak pernah berarti. Aku tak pernah diperlakukan sama seperti Putri. Dia mencuri kebahagianku sejak aku remaja. Dialah yang jahat bukan aku, aku hanya ingin mengambil apa yang seharusnya jadi milikku. Dia itu orang lain, bukan anak ibu dan bapak!” jelas Rina dengan penuh marah. Air matanya punturun membasahi pipinya, menyiratkan bahwa jauh didalam hatinya Rina juga selama ini menderita. Aku merasa kasian tapi dia itu salah, dia tidak berhak untuk membuat Putri menderita karena kecemburuannya.
“Sadarlah Rina. Tak ada satu pun yang mengambil posisimu. Ibu dan bapak tidak pernah menganggapmu tidak ada, mereka menyayangimu. Jadi hentikan, tolong hentikan bertindak diluar batas terhadap Putri, jangan membuatnya menderita lagi. Lebih baik kamu bertobat dan meminta maaf pada Putri”
“Apa? Tidak! enak saja. Minta maaf? Dia yang harusnya meminta maaf, dia yang menghancurkan kebahagiaanku!”
“Jangan keras hati, sudah hentikan sekarang juga. Jangan mengganggu Putri lagi!” Aku mulai meradang karena sikap Rina yang Keras kepala.
“Jadi kamu datang ke sini hanya untuk masalah ini? Jawabanku adalah tidak. Sebelum dia pergi meninggalkan keluarga kita, aku akan terus melakukannya”
“Sikapmu hanya akan menghancurkan dirimu sendiri. Jika ibu dan bapak tahu, mereka akan kecewa, kamu akan berhadapan dengan mereka”
Tiba-tiba handphone Rina berdering, Bagas suami Rina yang menelpon.
“Hallo, iya mas”
“Kamu dimana? Lekas kemari!”
“Kenapa Alif mas?”
“Alif kejang-kejang”
“Ya Allah Alif” Rina menutup telpone dan berlari menuju ruang perawatan Alif, Aku mengikutinya untuk memastikan kondisi Alif di sana.
Alif sedang ditangani dokter saat kami tiba di kamarnya, kondisi Alif belum stabil. Dokter mengatakan pada beberapa kasus DBD pada anak, terkadang disertai dengan kejang. Rina nampak syok, karena Alif tidak pernah kejang karena demam sebelumnya. Aku meninggalkan rumah sakit setelah melihat kondisi Alif yang semakin stabil karena sudah ditangani dengan baik oleh dokternya.
Aku pergi menuju rumah Sintia. Malam sudah semakin larut, jalanan sudah semakin lenggang aku pasti bisa tiba di rumah Sintia dengan cepat. Pikiranku benar-benar tidak fokus, memikirkan banyak hal bersamaan. Memikirkan keadaan Putri yang sedang marah padaku, masalah motor Putri yang hilang juga belum sempat aku urus, aku juga memikirkan sikap Rina yang keras kepala, kondisi Alif yang juga membuat aku khawatir, belum lagi tentang sikap Sintia yang memperlakukan Putri dengan tidak pantas. Ah kenapa semua masalah datang dengan bersamaan.
“Sintia..” aku mengetuk pintu rumah Sintia.
“iya, sebentar” jawab Sintia dari dalam rumah. Tak lama Sintia membukakan pintu, aku masuk dan duduk di kursi ruang tamu, Sintia menutup kembali pintunya.
“Malam sekali mas, aku menunggumu dari tadi, kenapa pesanku tak kau baca?” Sintia bertanya sambil berlalu menuju dapur. Lalu dia kembali ke ruang tamu dengan membawakan aku secangkir teh manis.
“Aku sedang malas membuka hp. Aku tidak akan lama disini” berbicara ketus pada Sintia.
“Kenapa buru-buru, menginap saja disini, aku masih kangen kamu mas” seperti biasa, sikapnya yang selalu manja menggodaku. Sintia pindah duduk dari berhadapan denganku, sekarang dia duduk disisiku, kepalanya sengaja dia rebahkan di bahu dan tangannya menggandeng tanganku.
“Menjauhlah, aku sedang gerah” aku bergeser dan melepaskan tangannya, lalu aku merogoh tas selempangku mengambil hpnya Putri.
“ Kamu kenapa sih mas? Jutek amat” Aku tidak menggubrisnya.
“Aku datang kemari hanya ingin mempertanyakan sesuatu, kamu lihat ini? Ini adalah Hp nya Putri, aku sudah membaca semua riwayat chat kamu dan dia di sini, sekarang jelaskan mengapa kamu melakukan semua ini pada Putri” Aku menyimpan Hp Putri di atas meja.
“Apa maksudmu mas?” Sintia sepertinya sedang berpura-pura tidak paham.
“Lihat saja di sini, lalu jelaskan semuanya padaku, mengapa kamu melakukan seperti itu” Aku menyerahkan Hp Putri pada Sintia agar dia bisa melihat isi Hp Putri. Sintia menerima Hp dan mulai membacanya. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah, dia menutup mutut dengan sebelah tangannya menggenggam hp itu erat, dan terus menundukkan kepala. Mungkin saat ini dia sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku.
“Apa maksud ini semua Sintia? Kita sudah bersepakat bukan? Kamu lupa? Atau kamu memang sengaja melakukan ini? Kamu sudah membohongi aku! Untuk apa, haha?” aku membrondongnya denga pertanyaan, dan emosiku pun mulai tak tertahan, aku membentaknya. Dia hanya terdiam, duduk terpaku dan tak mau menatapku.
“jawab aku Sintia, aku sedang berbicara padamu. Kamu dan Rina sudah mengkhianatiku. Aku menikahimu karena aku ingin bertanggungjawab atas anak itu. Kita sudah bersepakat, aku akan sepenuhnya mengakui keberadaan kamu dan anak itu setelah anak itu lahir, kamu tahu sejak awal aku meragukan anak itu. Mengapa kamu merusak semuanya hah? Jawab!” aku semakin sulit mengontrol emosiku, Sintia terus saja bergeming.
“Maafkan aku Mas Rama. Aku hanya sangat mencintaimu, aku ingin bener-benar diakui sebagai istrimu, anak ini sungguh anakmu, demi Allah Mas. Rina membenci Putri, dia menginginkan hubunganmu dan Putri berakhir. Aku melakukannya agar Putri sakit hati dan marah padamu. Agar dia meninggalkanmu dan akhirnya hanya akulah istrimu nanti” Sintia berbicara dengan menunduk, menangis dan terbata-bata.
“Kamu ternyata sangat licik. Apa salahnya Putri hingga kalian tega berbuat sejauh ini. Kalian sungguh berani! Putri sangat terluka dan Aku hanya diam tidak tahu apa-apa, aku kecewa padamu Sintia. Aku akan menceraikanmu setelah anak itu lahir!” aku tak bisa mengendalikan diriku, hingga terlepaslah kata-kata itu. Aku benar-benar kesal, marah, kecewa pada Rina dan Sintia. Aku bingung harus memperlakukan mereka seperti apa, andai mereka lelaki mungkin sudah babak belur kena tinjuku.
“Tidah Mas Rama, jangan! Maafkan aku, ampuni aku Mas. Aku sungguh menyesal!” Sintia duduk bersimpuh di sampingku, menangis dan memohon ampun.
“Tidak perlu menangis. Jangan berpura-pura seolah kamu menyesal. Seharusnya kamu pegang janjimu itu dengan baik. Putri itu orang baik, jika dia mau dia bisa bereaksi sejak kamu dan Rina membongkar semuanya. Tapi kalian justru menginjak-injaknya terus-terusan, kalian tidak tahu diri. Aku kecewa padamu”
“Maafkan aku, Mas Rama. Jangan tinggalkan aku. Aku berjanji akan menjaga sikapku, aku akan berhenti mengganggu Putri” dia menangis diatas lututku masih memohon ampunan.
“Aku lelah Sintia, aku kecewa aku sungguh marah saat ini. Beruntunglah kamu wanita dan sedang hamil. Karena tidak aku sudah memberimu pelajaran lebih!” aku mengengkat dagunya menatap wajahnya dengan penuh kekesalan, aku tak peduli dia sedang menangis, aku tak merasa iba sama sekali. Lalu aku berdiri hendak meninggalkannya, aku mengenakan tas selempangku dan melangkahkan kaki. Namun, Sintia menghadangku dia berdiri memegang tanganku dan mencoba menghalagi aku keluar.
“Jangan pergi Mas. Maafkan aku, aku sungguh menyesal” dia meminta ampun lagi sambal memegangi perutnya yang sudah terlihat membesar. Seolah ingin menunjukan kehadiran bayi itu diantara aku dengan dia.
“Ini adalah anakmu, aku adalah istrimu. Aku meminta maaf, aku menyesal”.
“Kamu tak mendengar kata-kataku? Hentikan tangisanmu dan dengar aku baik-baik. Aku tidak sedang bermain-main dengan perkataanku, begitu anak itu lahir aku akan menceraikanmu!” aku menentap matanya, menengang bahunya dan sedikit menggguncang tubuhnya karena kesal.
Lalu aku melepaskannya sambil berlalu menuju pintu. Tapi tangan Sintia memegang tanganku, dia masih menangis dan tak menerima ucapanku, tiba-tiba dia terjatuh pingsan menarik tanganku lemas. Aku tersentak, berbalik dan langsung menangkap tubuhnya yang akan ambruk. Sintia tak sadarkan diri, kubangunkan dia dengan menepuk pipinya. Aku pikir dia hanya berakting, aku guncang-guncang tubuhnya, tapi tak juga bangun.
Ya tuhan ada darah segar mengalir dari kakinya, aku semakin panik. Aku langsung menggendong tubuhnya, merebahkan tubuhnya di atas kursi tamu. Aku keluar dan membukakan pintu mobil, aku kembali membawa Sintia dari dalam rumah ke dalam mobil. Aku mendudukkan Sintia di kursi depan, dia masih tak sadarkan diri. Aku sungguh panik, pikiran semakin kacau tak bisa tenang, Aku khawatir dengan keadaan bayi di kandungan Sintia. Aku harus segera melarikannya ke klinik untuk memastikan kondisinya. Oh, Tuhan semoga tidak ada hal buruk yang menimpa bayinya Sintia.

____bersambung___

Nulis 200pan kata aja susahnya munta ampun 😅
Maaf ya selain mandek ide ada aja iklan yang bikin galfok😉

AKU TAHU: Tapi Pura Pura Tidak TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang