5. Sebuah Kesaksian

7K 1.1K 42
                                    

Masalah adalah pelajaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masalah adalah pelajaran. Jadi biarkan saja masalah ini mengajarkan aku sesuatu. Lagi pula dalam hidup, pelajaran itu berharga.

Sandrina_

«««♡»»»

Tangan Ibu Maya bergetar. Kertas yang ia pegang jatuh melayang ke lantai begitu saja. Sandrina yang baru saja masuk ke dalam ruangan Ibu Maya, melihatnya tercekat dan langsung berlari meraih kertas yang sudah ada di lantai. Gadis itu membacanya dengan cepat dan kemudian membuka mulutnya lebar. Ia memandang pengasuhnya dari kecil yang nampak shock itu. Napas Ibu Maya terlihat berat dengan pandangan menerawang ke depan. Sejenak kemudian ia menoleh dengan wajah merah padam pada Sandrina. Sandrina masih menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Aku gagal, Sandrina. Aku gagal mendidikmu selama ini.”
Ucapan Ibu Maya membuat Sandrina diam memeluk kertas itu dan mendekati perlahan Ibu Maya.

“Bu, itu gak benar. Itu fitnah!”

“Apa kamu bisa membuktikan kalo itu fitnah?”

Sandrina menunduk lesu sembari menggeleng pelan.

“Hukum butuh saksi dan bukti, Sandrina. Ucapan saja tidak cukup! Dan yang jelas, saat ini kamu adalah tersangka dari kejadian itu!”

Sandrina tak menjawab. Tas ransel yang ada di bahu, ia jatuhkan ke tangan dan menyeretnya ke kamar. Tubuhnya melemah. Haruskah ia putus asa sekarang? Sementara hatinya benar-benar kesal.

Sesampainya di kamar, ia duduk di tepi tempat tidur dan tertunduk. Sandrina menarik rambut depannya. Ia merasa frustasi.

“Rasanya gak ada jalan lagi. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Sandrina pada dirinya sendiri.

Saat ia melangkah dan meletakkan tasnya sembarangan di meja, sesuatu terjatuh dari atas meja. Awalnya gadis itu tak peduli, namun sesaat ia menoleh. Al-Qur'an. Ia melihat kitab suci itu dengan tak acuh dan meletakkannya kembali di antara tumpukan bukunya.

Dulu, ada seseorang yang menghadiahkan itu. Tepat di hari ulang tahunnya. Seorang wanita tepatnya. Ia tak tahu wanita yang memberinya hadiah itu siapa. Namun melihat senyum tulus wanita pemberi hadiah itu, Sandrina terima saja. Walaupun ia jengah dengan yang namanya ulang tahun, hadiah dan segala macam atributnya. Baginya hari lahirnya adalah hari kematiannya. Ia merasa menjalani hidup hanya dengan tujuan untuk menang. Menang dari ketindasan dan kesewenangan orang. Dan menang dalam membuktikan bahwa dia bisa berhasil sekalipun hanya anak panti yang seringkali diremehkan oleh manusia-manusia borjuis yang menurut kacamata gadis itu hanyalah manusia-manusia angkuh dan sombong.

Sandrina melangkah menuju ke tempat tidurnya lagi dan membaringkan tubuh lelahnya. Entah mengapa pikirannya masih menerawang pada mushaf yang ia lihat tadi sembari mengingat senyum wanita yang memberikannya dulu.

Sandrina (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang