Lebih baik tahu kenyataan yang ada daripada hidup dalam pertanyaan yang hampa.
Sandrina_
Sandrina menopang dagu memikirkan nasib yang tak kunjung berpihak padanya. Seandainya saja ia mempunyai takdir yang sama dengan kebanyakan orang, tak perlu bersusah payah mencari keluarganya, mungkin ia takkan semarah itu pada takdir. Takdir yang seolah mempermainkan.Azan menggema malam itu. Menandakan waktu isya sudah tiba. Sandrina segera mengambil air wudhu dan menggelar sajadah di musola panti. Selepas melaksanakan sholat isya, ia menengadahkan tangan dan berdoa.
“Ya Allah, Engkau Sang Raja. Raja di atas segala raja. Sang Maha Menguasai semuanya. Engkau Yang menguasai diriku dan Engkau pula yang menguasai takdir. Takdir setiap makhluk-Mu. Lalu sekarang, arahkan takdir baik padaku. Arahkan takdir baik mengarah tepat padaku. Arahkan, Ya Allah. Aku memohon dan maafkan aku yang sedikit memaksa. Jika bukan pada-Mu berharap, lalu pada siapa? Makhluk-Mu? Bulsyit, Tuhan. Yang ada mereka malah tak bisa apa-apa. Tak banyak yang bisa mereka lakukan. Engkau punya kekuatan besar, Maha Besar. Aku meminta dan menagihnya pada-Mu. Aku memaksa karena Engkau sudah berjanji akan mengabulkan setiap doa-doa. Apalagi doaku doa baik. Aku ingin bertemu keluargaku. Terutama mama. Kabulkan, Ya Allah. Aamiin ....”
Sandrina merenung sejenak. Kemudian segera melepas mukena dan keluar dari mushola. Beberapa adik-adik panti yang pernah ia marahi, menatapnya aneh. Sandrina melirik dengan ekor matanya sekilas. Setelah itu, ia memilih pergi tak peduli.
“Gue perhatiin, Kak Sandrina udah mulai berubah ya? Gak galak kek dulu,” ucap seorang gadis manis bernama Sinta.
“Yaelah, jangan salah. Kak Sandrina ya tetep aja Kak Sandrina yang galak. Cuma porsi galaknya aja yang kurang. Kalo galak, dia tu tetep galak,” sahut gadis bernama Ayu.
“So tahu lo!”
“Cius! Gue kemaren liat Kak Sandrina ngelabrak abang bakso yang biasanya nongkrong di depan panti.”
“Kenapa?” sahut anak panti lain bernama Elok.
“Abang baksonya galak sih sama perempuan tua yang ngemis gitu.”
Para gadis berusia belia yang mendiami panti itu hanya ber “oh” ria.
“Kak Sandrina itu sekarang mulai baik sih. Cuma kadang ngelabraknya itu lho yang gak tanggung-tanggung sama orang.”
“Hush! yang penting sama kita, dia gak macem-macem lagi. Males bosen ngebahas kakak galak itu, dah yuk! Jalan!”
Sandrina yang masih berada di sana, tepatnya di balik tembok, menghela napas panjang. Ia memang sengaja ingin mendengar penilaian orang tentangnya. Sekarang Sandrina berniat membuka mata dan telinga tentang semua hal dari dirinya.
“Sandrina? Kamu ngapain di sini?” tanya Ibu Maya lembut.
Sandrina tersenyum tipis sembari menggeleng cepat, setelahnya ia berlari masuk kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandrina (SUDAH TERBIT)
DuchowePesan via shopee aepublishing Sandrina Florecita--nama telenovela yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Sayangnya, nama itu menjadi satu-satunya kenangan akan kedua orangtuanya. Keras dan suka menindas adalah hobinya. Sampai dijuluki pengidap oroto...