Seandainya kedua orangtuaku tidak berbuat dosa, aku tidak akan disebut anak haram. Mereka yang berbuat, malah aku yang menanggung malu.
Sandrina_
Hari terik seperti saat ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Seorang gadis tengah terburu melewati tangga di kampus. Sandrina berkali-kali menengok arloji yang setia melekat di pergelangan tangan kirinya. Hari ini ia akan menemui dosen sejarah. Ia sudah terlambat dan harus segera menemui dosen itu untuk mengumpulkan tugas.
Setelah bergegas dan menemui sang dosen, ia menyerahkan tugas yang diminta.
"Bagaimana, Bu? Apa tugas revisi saya sudah benar?" tanya Sandrina.
Dosen setengah baya yang masih terlihat cantik itu menaikkan kacamatanya yang melorot. Ia membaca sekilas dan memeriksa dengan detail tugas mahasiswi di depannya itu.
"Oke, lumayan. Sudah mendekati benar. Lain kali jangan bolos lagi ya kuliah saya. Kamu tahu kan saya gak suka mahasiswa yang tidak disiplin?"
Sandrina tersenyum. "Pasti, Bu. Siap!" Ia mengangkat tangan seolah hormat pada Bu Hartanti, sang dosen yang terkenal killer itu.
Setelah pamit pergi dan berada di depan ruangan Bu Hartanti, Sandrina mengusap dada sembari menghela napas lega. Kemaren ia diberi punishment oleh sang dosen karena tidak masuk dengan alasan ijin. Sebenarnya Sandrina tengah sibuk mencari informasi soal keluarganya. Alasan tidak masuknya tidak diterima karena dianggap alasan yang kurang spesifik. Dosen yang terkenal sangat disiplin itu menyuruh Sandrina mengumpulkan tugas review beberapa buku sejarah.
Demi nilai sempurna, Sandrina melaksanakan tugasnya dengan sempurna pula. Walaupun akhirnya sang dosen killer tetap menganggap tugasnya lumayan. Entah lumayan kurang atau lumayan lebih. Mengingat hal itu Sandrina mengangkat bahu dan tertawa geli sendirian.
Kaki jenjang gadis itu melangkah satu per satu melewati tangga. Di persimpangan, ia bertemu sosok dosen muda yang ia kagumi.
"Pak Ari," sapanya.
"Hai, Sandrina," balas Pak Ari. "Oiya, San. Flashdisk kamu kemaren masih ada di saya."
"Flashdisk yang mana ya, Pak?"
"Yang buat tugas akhir kemaren. Saya juga lupa mengembalikan. Padahal temen-temen kamu sudah langsung terima flashdisk masing-masing."
Sandrina membuka mulut dan menepuk keningnya sendiri.
"Saya bahkan gak kepikiran sama sekali sama flashdisk saya, Pak. Saya kira hilang." Sandrina tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandrina (SUDAH TERBIT)
SpiritualPesan via shopee aepublishing Sandrina Florecita--nama telenovela yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Sayangnya, nama itu menjadi satu-satunya kenangan akan kedua orangtuanya. Keras dan suka menindas adalah hobinya. Sampai dijuluki pengidap oroto...