Andaikan ada kesusahan, aku akan memilihnya. Asal tanpa kerinduan pada keluarga. Mereka yang tak tergantikan.
Sandrina_
Sandrina kembali masuk kuliah seperti biasa. Semua orang berusaha menyapanya seramah mungkin. Namun Sandrina tetaplah Sandrina. Sikap tak acuhnya membuat semua orang dianggapnya angin lalu. Ana masih dirawat kembali di rumah sakit karena menjalani beberapa pemeriksaan dengan fisik yang belum stabil. Sandrina sesekali mengunjunginya. Sedikit perubahan terjadi, Sandrina lebih memperhatikan sekitar walau sikap tak acuh memang masih mengekangi dirinya.
Andin dan Rina masih setia mendampinginya. Namun sikap membuli dan mengancam pada teman sebaya sudah tak lagi mereka lakukan.
“San, lo dipanggil Pak Hendri noh,” ucap Andin. “Mo minta maaf dia kali.” Andin malah tersenyum seolah ingin mencibir Pak Hendri.
Sandrina tanpa menanggapi ucapan sang kawan, melipir begitu saja ke ruangan Pak Hendri. Sesampainya di dalam ruangan dosennya itu, Pak Hendri memang benar meminta maaf atas kekeliruannya.
“Saya tak menyangka anak saya seperti itu. Maafkan saya,” tukas Pak Hendri.
“Saya maafin, Pak. Tapi lain kali jangan langsung menilai sesuatu sebelum membuktikannya. Karena kulit kadang tak sama dengan isi. Saya permisi kalo begitu,” ucap Sandrina. Setelah itu, dia keluar ruangan Pak Hendri.
Langkah kaki Sandrina menuju ke kelas. Masih saja banyak mahasiswa yang berbisik-bisik melihatnya. Tanpa peduli Sandrina terus saja berjalan. Langkahnya terhenti saat melihat seorang temannya yang sedang menggigil pucat di pojokan koridor kampus yang sepi. Awalnya ia acuh, tapi saat melihat salah satu temannya itu sedang berbicara sembunyi-sembunyi dengan teman lainnya, barulah Sandrina menyadari seorang temannya itu menyodorkan satu plastik kecil bubuk putih padanya. Sepertinya mereka sedang bertransaksi obat-obatan terlarang. Sandrina melewatinya begitu saja sambil menggeleng pelan. Satu pelajaran lagi yang ia ambil. Ia termasuk manusia yang selamat. Selamat dari kebinasaannya sendiri.
Seandainya nasib malang ini mengantarkanku pada sebuah kecerobohan, hal itu malah akan semakin menjatuhkanku. Dan akhirnya, aku akan mati perlahan dengan sia-sia.
Sandrina memandang langit biru dari atap gedung bangunan kampus. Langit yang cerah. Awan hanya sebersit kapas halus karena lebih didominasi warna biru.
Tuhan, sealpanya diriku, Kau masih menjagaku. Semoga aku bisa menemukan-Mu.
“Sandrina. Gimana kabar lo?”
Seseorang mengatakannya dari belakang. Sandrina menoleh. Mario tersenyum manis padanya. Sandrina masih bergeming dan akhirnya mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandrina (SUDAH TERBIT)
SpiritualPesan via shopee aepublishing Sandrina Florecita--nama telenovela yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Sayangnya, nama itu menjadi satu-satunya kenangan akan kedua orangtuanya. Keras dan suka menindas adalah hobinya. Sampai dijuluki pengidap oroto...