Langit biru cerah yang didampingi oleh awan seputih kapas. Sebuah panorama alam yang sangat indah untuk dinikmati di dunia yang bersih ini.
Di sanalah aku melihat langit biru cerah dengan awan putih yang menaungiku dari teriknya sinar matahari. Matanya yang biru memancarkan sorot ketenangan. Rambut seputih susu yang tersibak ke sana kemari menaungiku dari silaunya cahaya matahari. Rapiernya yang biru diayun dengan anggun, berusaha menyingkirkan segala hal yang menghalangi jalannya layaknya angin yang berhembus. Sepasang sayap putih lebar membawanya terbang ke angkasa yang menunjukkan dirinya pada dunia.
Itulah Cecilia. Di mana aku melihatnya, aku tidak lagi merasakan gelapnya malam. Bagiku ... Cecilia merupakan orang yang tidak kuanggap sama dengan orang lain. Aku yang tidak peduli dengan nyawa orang lain ... bahkan nyawaku sendiri, hanya bisa berpikir untuk membunuh. Sekalipun itu berarti melenyapkan alam semesta.
Tapi Cecilia berbeda. Aku mengenal artinya kata "Melindungi orang dengan senang hati". Tidak lagi berkutat untuk merenggut nyawa seseorang, melainkan melindunginya. Tidak lagi bergerak berdasarkan misi, namun dari hati.
Jiwa kemanusiaan yang selama ini kupendam di dasar lautan es, perlahan mulai muncul ke permukaan. Merasakan hangatnya cahaya matahari dari balik permukaan es. Mencoba membuka mata untuk melihat langit.
"Mesin yang selama ini berlumuran darah ... mulai berkarat."
***
Kepalaku terasa nyeri. Kubuka mataku perlahan dan kulihat ada lampu lilin menggantung di langit-langit.
"Sudah berakhir?"
Apa aku pingsan? Hal terakhir yang kuingat hanyalah Cecilia dan yang lainnya berjuang melawan Ares. Setelah itu aku tidak tahu.
Kuangkat tubuhku untuk duduk dan kudapati Cecilia berada di samping kanan ranjang sedang tertidur pulas. Levia juga sama di sisi seberangnya. Mereka duduk di lantai dengan wajah yang terlihat nyaman ketika kasur yang empuk menjadi penopang kepala mereka.
Aku telanjang dada. Perban membalut seluruh badanku hingga ke leher dan pergelangan tangan. Ada sedikit noda darah di tubuhku, tapi tidak masalah. Sedikitpun aku tak merasakan sakit.
"Masih malam rupanya. Mungkin aku hanya pingsan beberapa jam saja."
Aku turun dari ranjang dan memakai jaket hitamku yang kebetulan digantung di depan pintu kayu kamar ini. Mereka berdua pasti sudah kelelahan, jadi lebih baik kubiarkan saja mereka tidur. Setelah dengan hati-hati aku membuka dan menutup pintu, aku berjalan berkeliling.
Hal pertama yang kulihat setelah keluar dari lorong panjang ini adalah gerbang besar dengan dua buah simbol bintang.
"Aku ada di akademi, kah? Semua pertempuran itu bagaikan mimpi semata. Akademi yang sebelumnya hancur langsung pulih sedia kala? Yah ... tidak heran karena ini dunia fantasi." Aku mengoceh sendiri sambil berkeliling.
Sama persis dengan yang kulihat dari Dementor. Aku terhenti ketika melihat patungku yang besar di sebuah tempat bertuliskan "Pahlawan Abadi" di balik tembok pembatas akademi.
"Yo! Lama tidak berjumpa, Kirito!"
Kulirik ke arah sumber suara dan kudapati Phiena sedang melipat tangan memandangku santai.
"Semuanya sudah berakhir. Cecilia menang, kita semua berhasil bertahan hidup."
"Berapa lama aku tidur?"
"Dua malam. Waktu itu kau hampir mati, jantungmu berhenti berdetak. Wanita iblis bernama Levia itu memberikan kejut listrik dan beruntungnya kau selamat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuro no Hikari [Lost to Other World]
FantasyComplete ✔ Biasanya, anak SMA yang normal akan mengalami kisah kehidupan yang umumnya terjadi. Baik itu masalah sehari-hari, atau masalah eksternal yang tak ada hubungannya dengan dirinya. Namun, itu tidak terjadi pada seorang remaja yang satu ini...