Change

17 3 0
                                    

Hampir saja Lucida terkena tumbuhan-tumbuhan beracun, ia sama sekali tidak biasa dengan lingkungan yang seperti ini, jika dilihat dari tempat tinggalnya yang berada di tengah ibukota. Alhasil yang lain harus berjalan sangat pelan untuk mengimbangi jalannya Lucida.

"Gak pernah ke hutan?"

"Engga."

"Kesini jalan lewat mana waktu itu."

"Kan gue dijerat Alhena, digores-gores kuku lagi."

"Turut berduka cita," ejek Lanx cengengesan membuat wajah Lucida tambah menekuk.

"Diem lo ah, ntar gue ketusuk duri."

Butuh waktu satu jam bagi mereka untuk sampai di rumah pohon itu. Waktu yang cukup bagi Alhena untuk mengobati para anak buahnya dan bersiap-siap untuk perlawanan itu. Sebelumnya Alhena dan dewanya sudah membahas soal perlawanan ini. Tapi Alhena tetap saja merasa kurang percaya diri. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu adanya keajaiban.

Alhena berjalan mondar-mandir di ruang bawah tanah yang luas itu. menunggu obat bereaksi pada keempat anak buahnya. Tapi bukan karena khawatir dengan anak buahnya yang membuatnya berjalan mondar-mandir gelisah. Ia tidak ingin melawan mereka, sudah jelas jika ia kalah jumlah, apalagi jika Hena mengetahui ini dan menyusul Pangeran Lanx untuk membantunya. Meskipun ia membenci saudara kembarnya, ia tetap saja tidak mungkin melawannya, kekuatan Hena pun jauh lebih kuat darinya, ia seringkali ikut berlatih dengan para prajurit kerajaan. Alhena bisa saja meminta kekuatan lebih pada dewa jahatnya itu, tetapi ia tetap saja akan kewalahan melawan mereka sendirian. Ia pun memberanikan dirinya untuk bertanya pada dewa jahat itu.

"Dewa, bisakah kita tidak perlu melawan mereka?"

"Ada apa? Apa yang membuatmu ragu?"

"Ehm... aku tak yakin dapat melawan mereka sendirian, keempat monster ini belum membaik. Maaf tapi... ramuanmu tidak mempan."

"JADI KAU MERAGUKAN RAMUAN KU?"

"Bu-bukan begitu, tapi itulah kenyataannya mereka tidak kunjung membaik dan jika kau membiarkan mereka, mereka akan mati."

"Kau tidak percaya padaku?"

"Bu-bukan begitu. A-aku..."

"Hmm? Lanjutkan kalimatmu Alhena. Kau tau kan apa konsekuensinya jika kau mengkhianatiku?"

"A-aku akan mati." Alhena semakin menundukkan kepalanya lebih dalam. "Dengan cara persis seperti mimpi terburukku."
"Ta-tapi..."

"Aku sudah memberimu kesempatan, sekarang waktumu untuk mati."

"Tunggu, kau tak akan punya pengikut lagi jika aku mati." Entah darimana keberanian itu muncul dalam diri Alhena. Membuat dewa jahat itu berpikir dua kali.

"Tentu saja aku punya. Aku bisa menyembuhkan anak buahmu dan menjadikannya pengikutku."

"Kau? Sehebat itu? Bahkan aku sendiri pun tidak yakin. Kenapa tidak dari tadi? Kau bohong kan? Iya kan?" Alhena semakin berani melawan dewa itu. Perkataannya barusan membuat dewa jahat itu terdiam. Aduh ini kenapa sih? Gak bisa dijaga banget mulut aduhh... Jangan-jangaan disini ada Hena?, batin Alhena. Hena memang memiliki kekuatan untuk mengendalikan orang lain, itulah mengapa Alhena membencinya, Alhena tidak ingin menerima kenyataan bahwa saudara kembarnya itu lebih hebat darinya.

"Hei, kak aku disini."

"Hena? Kau tak bersama Pangeran Lanx?"

"Oh, tidak. Dia bahkan tidak tahu jika aku pergi ke sini. Kak, aku kangen kakak yang hangat kaya gini." Hati Alhena menghangat, ia akhirnya sadar bahwa selama ini dia salah. Seluruh tubuhnya kini berubah, menjadi monster yang cantik, wajahnya kini persis seperti wajah Hena, sama seperti ketika ia menjemput Lucida di pintu itu.

"Gak ada waktu untuk itu, sekarang kita harus kalahin dewa itu." Suara itu berasal dari arah pintu yang dibuka secara paksa. Pangeran Lanx, Lucida, dan para penjaga telah datang. Perkataan Pangeran Lanx tadi dibalas dengan anggukan mantap dari kedua monster bersaudara itu.

"Lama, dia mau pergi tuh," teriak Lucida yang sedang membidik panahnya. Dewa itu sudah menghilang ketika panah Lucida mencapai tempatnya tadi duduk.

"Lo sekarang jadi di pihak kita? Bukan di pihak dewa lo itu?" tanya Lucida pada Alhena.

"Ya tentu. Aku baru saja sadar kalau dia itu tidak berguna." Tawa Alhena terdengar puas sekali.

"Bagaimana dengan "ingin merebut takhta kerajaan"?"

"Lupakan saja, aku akan mengikuti jalan Hena. Kali ini benar-benar mengabdi pada ratu." Senyuman terpampang pada wajah mereka semua.

"Apa ada yang bisa menyembuhkan empat anak buahku? Mereka terkena racun saat perjalanan ke sini."

"Boleh kucoba kak?" Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan oleh Alhena. Cahaya putih yang sangat terang keluar dari tangan Hena, menyusuri seluruh tubuh keempat monster itu. Di waktu yang sama, Alhena melempar ramuan dari dewa itu. Tak lama, seluruh luka di tubuh keempat monster itu hilang, keadaan mereka berangsur pulih dan mereka mulai tersadar.

"Bagaimana caranya kau bisa melakukan itu?" tanya Alhena sembari terkagum-kagum.

"Ceritanya panjang, sekarang kita harus mengurus dewa jahat itu."

"Dia biasa pergi ke gua di arah barat. Buat musnahin dia kita harus tusuk pedang biru tepat di jantungnya. Senjata apa pun gak punya pengaruh sama sekali. Sama kaya nusuk angin, kecuali pake pedang biru."

"Dimana pedang birunya?"

"Di gua itu juga."

"Berapa lama perjalanannya?"

"Paling cepat satu hari, itu jika kalian semua penjaga yang hafal letak semua tanaman beracun, karena gua itu masih masuk wilayah hutan terlarang. Karena gak semua dari kita hafal letak tanaman-tanaman itu, jadi kemungkinan kita sampai bisa lebih dari dua hari."

"Dan sepertinya, aku tak punya cukup tenaga untuk mengobati kalian, jadi kita harus sering-sering beristirahat." Hena berulang kali mengucapkan permintaan maaf.

"Lebih cepat lebih baik, ayo kita mulai perjalanannya." Lanx melangkah keluar ruangan bawah tanah itu.

~~~

Tower of SacrificesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang