Go Back

15 3 0
                                    

Alhena melihat Lucida yang sudah tak sadarkan diri, singa itu pun sama nasibnya dengan ketiga harimau yang membunuh tiga penjaga kerajaan. Ia hampir saja putus asa melihat teman-temannya sudah tak berdaya, mereka semua sekarat. Dirinya tak mungkin bisa mengendalikan pedang biru itu, memegang pedang biasa saja ia tak pernah, apalagi melawan dewa jahat dengan pedang biru. Air mata mulai menetes keluar, membasahi pipinya dan menetes di pedang biru itu yang ditaruh tepat di bawah kepalanya. Cahaya biru keluar dari pedang itu, membuka ingatan-ingatan Alhena yang dapat membantunya melawan dewa jahat.

Dulu, pada saat Alhena baru saja menyembah dewa jahat itu, dewa itu memberikan sebuah rahasia pada pengikut satu-satunya itu, rahasia cara mengalahkannya. Pedang biru itu akan menghancurkan kekuatan dewa jahat. Alhena kini melihat bekas tusukan duri di wajah Lucida. Ia memikirkan caranya untuk menyembuhkannya, dengan pedang biru itu. Yang ia pikirkan hanyalah ide gila yang bahkan kemungkinan berhasilnya pun lebih kecil daripada kemungkinannya untuk gagal. Bagaimana pun, itulah satu-satu cara yang terpikirkan olehnya. Resiko sebesar apapun itu harus bisa ia pertanggung jawabkan. Kini ia sudah membulatkan tekad untuk melakukannya. Ia memerhatikan tusukan duri itu, memfokuskan tatapannya, memasang ancang-ancang, ia menutup matanya dan mulai menusukkan pedang biru itu pada wajah Lucida. Ia tak berani menatapnya. Pedang itu terlempar ke sebelah kaki Alhena, dentingannya membuat Alhena membuka matanya. Dilihatnya Lucida kini tersenyum melihatnya.

"Makasih, cahaya biru itu rasanya hangat tanpa rasa sakit. Berbanding terbalik dengan cahaya putih" Alhena yang kebingungan dengan perkataan Lucida hanya bisatersenyum. Perhatian keduanya teralihkan oleh pedang itu, bentuknya berubah menjadi lebih ramping, membuatnya terasa lebiih ringan. Sebagian pedang itu berubah menjadi cahay dan menuju kea rah dewa jahat, cahaya itu mengikatnya di dinding gua, membuatnya tak bisa menyerang ataupun bertahan.

Keduanya saling menatap "Apa lo pikirin apa yang gue pikir?" Keduanya tersenyum dan mengangguk mantap. Diangkatlah busur panah oleh Lucida dan dijadikannya pedang biru itu menjadi anak panah. Set... pedang itu tepat menancap di jantung dewa jahat itu. Sama seperti nasib makhluk buatannya, ia berubah menjadi abu dan menghilang terbawa angin. Kurungan yang mengurung Lanx dan Hena pun menghilang, tetapi tak ada perubahan pada keadaan Lanx dan Hena, mereka masih tetap sekarat.  Alhena yang sedang melangkah ke tempat Hena tergeletak pingsan bermaksud untuk menyembuhkannya dengan cara yang sama seperti caranya menyembuhkan Lucida. Sayangnya, pedang itu hilang bersamaan dengan cahaya terang dari suatu celah yang tiba-tiba saja terbuka di salah satu dinding gua.

"Kalau lo mau balik lagi ke temen-temen lo, lo bisa pergi lewat pintu itu."

"Tapi Lanx sama Hena gimana?"

"Biar gue yang bawa mereka ke rumah pohon, anak-anak buah gue kan ada di rumah pohon."

"Tapi gimana cara bawannya?"

"Lo kan tau kuku gue cukup kuat buat ngangkat mereka berdua."

"Enggak, pokoknya gue bakal bantu lo," ucap Lucida yang sudah mulai mengangkat tubuh Hena yang lebih kurus darinya, membuat Lucida bisa mengangkatnya dengan lebih mudah. Mereka akhirnya memulai perjalanannya  menuju ke rumah pohon. Hari telah berganti, mereka baru saja sepertiga jalan, kali ini  perjalanan mereka bertambah lama dua kali lipatdari sebelumnya, beban yang berat ditambah lagi mereka harus menghindari tanaman-tanaman beracun itu, membuat mereka berjalan semakkin lambat, hingga  mereka membutuhkan waktu hingga empat hari untuk sampai ke rumah pohon

Kedatangan mereka disambut oleh  keempat monster pendek itu dengan bingung dan khawatir ketika mereka melihat dua monster kuat yang dikenalinya sekarat. Mereka ditidurkannya di  dipan. Keempat monster pendek dan Lucida yang menunduk bersedih  terduduk lemas melihat keadaan temannya itu, sementara Alhena berusaha mencari obat untuk mengembalikan tenaga keduanya. Ia cukup yakin jika ia pernah menyimpan obat seperti itu di rumah pohon ini. Sudah dua kali ia mengobrak-abrik semua tempat  di rumah pohon, membuat rumah itu kini  terlihat sangat berantakan.

"Gak ada waktu lagi.  Kita harus pergi ke kerajaan, cari obatnya." Alhena mengangkat Hena dari dipannya dan menggendongnya keluar, sementara Lanx diurus oleh keempat monster pendek itu, dan Lucida hanya berjalan di belakang dengan lunglai mengikuti Alhena.

~~~

Mereka lebih memilih berjalan melalui daerah perkampungan dibandingkan dengan melalui hutan, memilih masuk menggunakan gerbang utama dibandingkan gerbang samping, melihat keadaann Lanx dan Hena. Monster-monster yang melihat pangerannya dalam keadaan sekarat ingin melakukan sesuatu, apapun itu agar dapat membantunya, tapi melihat Alhena yang memimin kelompok kecil itu, mereka  semua mengurungkan niatnya. Kabar mengenai keadaan Pangeran Lanx tak terduga menyebar sangat cepat. Tak perlu waktu lama, keluarga kerajaan pun sudah mengetahuinya. Kedatanngannya itu disambut oleh ratu dan beberapa peramu obat tepat di depan gerbang utama. Berbagai obat tak ada satupun yang manjur, membuat Ratu Helen semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Alhena bercerita tentang kisahnya di gua itu, bertemu dewa dan mengalahkannya dengan pedang biru. Hingga akhirnya salah satu guru Hena maju dengan membawa pedang dengan sinar putih dalam genggamannya. Ia menusukkannya tepat di jantung Lanx dan Hena, hal yang terjadi pada keduanya sama seperti saat penyembuhan Lucida menggunakan pedang biru, yang berbeda hanya warna cahayanya, warna cahaya ini sama seperti cahaya penyembuh milik Hena. Tiga puluh menit berlalu dan mata kedua mulai sedikit demi sedikit terbuka, dan sekarang mereka sudah sepenuhnya sadar.

"Gue harus pergi."

"Tapi sekarang pintunya udah dikunci."

"DIKUNCI? Lo kok waktu itu gak bilang ke gue?"

"Kan waktu itu gue udah bilang lo pergi aja, biar gue yang bawa Pangeran Lanx sama Hena sendirian."

"Tapi lo ga bilang bakal dikunci. Tau gitu gue gak ikut ke sini." Lucida memajukan bibirnya sembari mengomel.

"Iya, iya gue minta maaf. Nih ya, lo kesana, masih inget kan letak pintunya?" Lucida mengangguk. "Nah, terus masukin kode yang sama kaya pas lo kesini."

"Hah?"

"Pokoknya lo punya kode apa, password apa. Pake itu."

"Gue ada password handphone, email, banyak. Yang mana yang gue pake?"

"Iiih, bukan yang itu. Tau ah. Lo gak pergi dari sini berarti." Busur panah melayang kea rah Alhena. "Iya, iya ampun."

"Kita buka ingatan kamu aja Cy." Hena yang sedari tadi sudah menyimak nimbrung dalam percakapan Lucida dan Alhena. Ia merapalkan sebuah mantra dalam hati, mulut berkomat-kamit. Cahaya putih keluar dari pedang dan menyelimuti kepala Lucida. Lucida lalu teringat akan kode dimana pertama kali ia akan menuju ke tempat ini. Di rumah sakit itu. Ruangan nomor tujuh belas pada pukul 12.35. 171235.

"Terimakasih semuanya. Aku akan pergi sekarang."

"Eh? Benar-benar sekarang?" tanya Alhena. Dijawab oleh senyum manis dan anggukan lembut dari Lucida. Semua mengucapkan salam perpisahan. Dan kini tinggal waktunya Lucida untuk pergi.

"Biar aku mengantarmu. Aku bisa teleportasi."

"Tapi, nanti lo kecapean. Baru juga sadar."

"Hanya untuk dua orang tidak akan membuatku lelah." Senyum lebar menghiasi wajah cantik Hena.

Lucida melambaikan tangannya pada semua monster disana. "DADAAAAAH." Hingga akhirnya ia menghilang.

Kini ia sudah berada di gua itu, tepat di depan pintu yang terkunci. Ia memasukkan passwordnya. 171235. PIIPP...suara kunci yang terbuka terdengar jelas. Pintu kini sudah terbuka. Waktunya berpamitan dengan Hena. Hena memeluk Lucida, Lucida membalasnya dengan hangat, Hena menangis di dalam pelukan Lucida. "Lucy, terimakasih. Kau mengembalikan Alhena seperti dulu. Sudah bertahun-tahun dia seperti itu, berusaha merebut takhta. Tapi aku tak berani memberitahukannya pada Ratu Helen. Kini, aku tak harus berkata seperti itu, karena Alhena yang dulu telah kembali. Terimakasih. Selamat jalan, hati-hati di sana. Ingat kami terus. Ini untukmu." Ia memberikan sebuah liontin berbentuk lambang kerajaan monster itu. Pedang biru dan putih yang disilangkan.

"Terimakasih." Lucida yang ikut menangis karena terharu terpaksa melepas pelukannya. Pintu itu hampir saja tertutup, dan password bisa berubah kapan saja, itu yang dikatakan Alhena. Ia melambaikan tangannya dan masuk ke dalam pintu itu. Kini pintu telah tertutup.

~~~

Tower of SacrificesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang