Wonderland

16 3 0
                                    

Betria merasa bajunya tersangkut oleh suatu benda tajam, benda itu bergerak dan membuatnya tertarik mundur. Pintu terbanting menutup oleh angin yang sangat keras. Ia memerhatikan sekelilingnya, banyak orang yang sedang mengelilinga saat ini, mereka menggunakan topi, ikat kepala, penutup mata, layaknya bajak laut. Ia menengok ke belakang dan melihat bahwa bajunya bukan tersangkut  benda bergerak, lebih tepatnya bajunya ditarik oleh seorang bajak laut yang menggunakan tangan besi, kait tajam diujungnya. Wajahnya tak terlihat jelas, hanya terlihat jika ia menggunakan topi bajak laut, persis seperti di film-film.  Awalnya Betria berpikir ia berada dalam panggung drama, tetapi nyatanya di sekitarnya hanya ada laut yang terbentang luas, tak terlihat seperti layar panggung drama yang hanya lukisan. Persis seperti adegan film, ia kini berdiri di papan kayu tipis, hendak didorong untuk ditenggelamkan di lautan yang luas itu, tidak sampai disitu saja, nasib Betria lebih parah dari itu. Air laut di bawahnya sudah berwarna merah karena darah, memancing ikan hiu untuk berkumpul. Betria tahu apa yang akan dialaminya setelah didorong dari kapal besar itu, ia akan mati tercabik-cabik dan menjadi makanan para ikan hiu yang kelaparan lagi ganas itu. Betria yang merasa kebingungan atas apa yang sudah ia lakukan hingga harus dihukum mati seperti ini berteriak memprotes, perilakunya ini membuat para bajak laut itu semakin marah dan tak ingin berpikir dua kali untuk menghukum Betria. Tepat saat Betria terjatuh, sesuatu menangkapnnya. Gue harap itu bukan ikan hiu, batinnya. Ia tak merasa badannya terkoyak, hanya bagian punggungnya saja yang basah. Ternyata ia ditangkap dengan jaring besar tepat sebelum ia masuk ke dalam air an menjadi santapan ikan hiu. Jaring itu ditarik ke atas dari kapal besar yang hampir mirip seperti kapal bajak laut yang tadi membuangnya.

"Nama saya Enif, mari ikut saya," kata seorang pemuda seumuran Betria setelah melepaskan Betria dari jaring-jaring.

"Ehm, nama gue Betria."

"Saya sudah tahu."

Ketus banget sih, batin Betria. "Ehm, makasih ya udah nolonnginn gue."

"Jangan bilang makasih ke saya. Bilang pada orangtua saya."

Ini orang  ngomong kaku banget ya, pikir Betria.

Pintu dibuka, menampilkan dua orang yang terlihat bak bangsawan, cantik dan tampan.

"Ayah, Betria sudah diselamatkan."

"Betria, ke sini sebentar. Enif kau boleh keluar." Betria melangkah masuk ke dalam ruangan itu, sementara Enif pergi dan menutup pintu. Terdapat rak besar yang menarik perhatian Betria, rak berisikan botol-botol yang diisi dengan miniatur kapal layar. Ornamen lukisan berbau laut juga terpampang di dinding. Dengan cat berwarna biru langit dan sofa putih membuatnya semakin terasa nyaman. Suara-sauara burung camar karena sudah dekat dengan mercusuar menambah kesan laut yang damai. Betria dipersilahkan duduk di salah satu sofa empuk di pojok ruangan.

"Terimakasih Mr. ...?"

"Lacerta."

"Ah iya. Terimakasih Mr. Lacerta."

"Tak usah berterima kasih, keluarga kami telah berhutang nyawa pada keluargamu.  Tadilah waktunya kami  membalas budi kami."

"Hah?"

Perahu mulai melambat dan terdengar suara layar ditutup. "Ayo keluar, keluargamu sudah menunnngumu, mengkhawatirkan keadaanmu setelah kau diculik Captain Gruis."

Lah? Sejak kapan gue tinggal deket laut?  Betria kebingungan dengan perkataan Mr. Lacerta, bahkan melihat dia dan keluarganya  pun baru kali ini, apalagi mengenal dan pernah menolong, terutama menolong nyawa. Ia bangkit dari sofanya dan berjalan keluar bersama keluarga Mr.  Lacerta.

Pelabuhan itu sangat ramai, bukan karena hiruk pikuk para awak kapal maupun para pedagang  di sana,  tetapi orang-orang yang menunggu kedatangan Betria. Beberapa orang mengangkat papan dengan berbagai tulisan, "Selamat datang kembali Betria" maupun ada yang memasag tulisan "Tuhan, terimakasih telah selamatkan Betria".

"Kenapa mereka nyambut gue?"

"Kenapa? Jelaslah, kamu adalah keluarga Gliese," jawab Enif. Ya emang kenapa kalo keluarga Gliese?Ada apa sih sebenernya? Pertanyaan demi pertannyaan terus bermunculan setiap Betria maju selangkah demi selangkah. Banyak orang-orang yang bertengkar karena hanya ingin berjabat tangan dengannya, meskipun masih kebingungan Betria tetap menyalami orang-orang itu, ada yang menimbulkan keributan demi menawari Betria sepotong roti,  roti itu diterima Betria dengan ramah, sikap Betria yang ketus terpaksa ia hilangkan kali ini demi membalas perbuatan baik semua orang di sini. Kini tangannya sudah sangat penuh dengan berbagai makanan, perutnya sudah terasa kenyang karena melahap makanan-makanan itu demi menngosongkan tangannya, tetapi nyatanya makanan di tangannya terus saja bertambah, meskipun Enif sudah memakan sebagian makanannya. Bisa gendut gue kalau gini terus, Betria menggerutu dalam hatinya.

Kini ia sudah berada di dalam kereta kuda. Ini gue time-traveller, masuk ke dongeng, apa emang ini pulau terpencil sih? Perjalanan yang dilalui Betria terasa jauh karena ia merasa bosan, naik turun bukit dan yang Betria lihat hanyalah hutan dimana-mana dengan pohon yang terlihat sejenis. Hingga setenngah jam kemudian ia melihat hal yang membuatnya merasa yakin bahwa ia masuk ke dalam dongeng, tapi setahunya tak ada dongeng yang seperti  ini.

"Eh, ini di dunia dongeng?"

"Dongeng? Kamu menghayal?"

"Itu, ada kastil."

"Itu rumahmu bodoh."

"Rumahku? Sebesar itu?" Enif memasang wajah kebingungan dengan sikap Betria, bisa-bisanya ia melupakan rumahnya sendiri, berpakaian aneh dan merubah gaya bicaranya.

Kini kereta kuda sudah berhenti tepat di depan pintu masuk rumah yang sangat besar itu, berdiri sepasang suami-istri yang sedang menanti putrinya dengan perasaan yang sumringah. Betria berlari keluar dari kereta kuda dan langsung berlari menuju kedua orang yang sangat mereka kenal di dunia yang sangat asing ini.

"AYAH...IBU..."

~~~

Tower of SacrificesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang