"Gue denger, lo mau kuliah di Bogor ya?"
Tak langsung menjawab, mataku justru terpaku pada cowok di depanku. Setengah jam yang lalu, aku bertemu dia di Supermarket. Pada akhirnya dia mengajakku ngobrol sebentar. Sambil menunggu seseorang, katanya.
"Iya," akhirnya aku menjawab.
"Semoga sukses, Vit. Semoga cita-cita dan impian lo terwujud."
Aku diam. Bukan karena terharu dengan perkataanya. Sebaliknya, aku sedih dan ingin menangis karena takut.
"Lo kenapa sih?" gerutu Angga. Tak sadar jarinya sudah menyentuh pipiku yang basah. Sekilas. Karena aku segera menghindar.
"Gue takut, Ngga. Gue takut gak bisa move on dari lo," isakku.
Kudengar dia mendecak. "Masih aja baper. Elo yang bilang sendiri bakal bisa lupain gue. Lo juga kan yang bilang masih banyak cowok yang lebih baik dari gue. Kenapa mesti ragu?"
"Tapi..."
"Vit," panggilnya lembut. Matanya yang teduh menatapku. "Jangan terus-terusan lukai hati sendiri. Gue nggak bisa sembuhin."
Aku kehilangan kata-kata. Sedetik, aku sadar dan merasa jahat pada diriku sendiri. Angga benar. Sakit hati yang timbul karena seseorang bukan berarti dia juga yang bisa mengobatinya. Bodoh sekali.
Di tengah itu, seseorang yang ditunggu Angga muncul. Dari jauh saja aku bisa melihat perubahan di raut wajah cowok itu. Lebih berseri.
"Hei, ada Vita ternyata. Aku ganggu ya?" ujar Kinan polos. Dia memang sudah tahu namaku sejak di hari perpisahan itu.
"Nggak ganggu kok, Kinan. Harusnya aku udah pulang dari tadi cuma kasian sahabat kamu tuh, minta ditemenin," sindirku sambil melirik Angga. Cowok itu cuma mendengus.
"Ooh dia emang gitu. Suka ngerepotin orang," ucap Kinan membelaku. Akhirnya kami berdua tertawa.
"Kalo gitu, aku pamit ya. Takut mama nanyain," kataku kemudian.
"Vit." Kinan memanggilku. "Makasih ya udah tulus sayang sama Angga. Aku yakin suatu saat kamu akan menemukan seseorang yang juga tulus menyayangi kamu."
Mendengar itu, aku reflek memeluk Kinan. "Makasih, Kinan." Dalam hati aku bersuara. Kamu begitu beruntung, Kinan. Bisa dicintai oleh orang seperti Angga. Ketika banyak orang yang mengharapkan dia.
Ketika aku hendak berbalik arah, giliran Angga yang menyahutku.
"Vit, jangan lupa untuk tersenyum. Semoga bahagia."
Aku tersenyum tipis. Kamu juga.
Hari itu, mungkin terakhir kalinya aku bisa melihat Angga secara langsung. Karena seminggu kemudian, aku baru mendengar kabar kalau Angga dan Kinan sudah berangkat ke luar negeri. Lebih tepatnya, mereka akan kuliah di Belanda. Ada sedikit perih di dalam hati. Tapi, sekali lagi aku harus tegas pada diri sendiri. Ikhlas.
Hanya bisa mendoakan.
Semoga kalian juga bahagia.
****
I/30-07-18
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersamamu
Spiritual#Buku2 Setelah dirimu pergi, kehidupan yang kujalani terasa hampa. Sampai akhirnya dia hadir. Dengan segala kesederhanaannya, dia mampu meluluhkan dan mengisi sudut hatiku yang beku. Lalu, hidayah itu datang dan mengetuk pintu hati yang telah lama...